Jumat, 08 Juli 2011

MAKALAH BAHASA INDONESIA

KAJIAN KARYA SASTRA BERDASARKAN PERSPEKTIF
FEMINISME SEBAGAI PIJAKAN PENGEMBANGAN
PEMBELAJARAN SASTRA YANG BERORIENTASI GENDER

Dedi Heryadi*

Abstrak: Gerakan kaum wanita dalam menentang paham patriarkhi terus bergejolak
melalui berbagai aktiVitas kehidupan sosial. Salah satu hal yang cukup menarik yaitu
munculnya gerakan kaum wanita dalam menentang paham patriarki melalui sorotan
pada karya sastra. Mereka memandang bahwa karya sastra merupakan cerminan
kehidupan sosial pada latar di mana karya sastra itu dilahirkan. Model gerakan ini
tampaknya sangat efektif dalam upaya menyadarkan semua pihak untuk memahami
dan mengaplikasikan dalam kehidupan bahwa masalah gender bukanlah alat untuk
memilah kaum lemah dan kuat melainkan suatu kodrati yang harus menjadi dasar
hidup saling membutuhkan dan berperan secara proporsional. Salah satu kasus karya
sastra yang cukup menarik dikaji berdasarkan perspektif feminisme adalah novel
berjudul “Women at Point Zero” karya seorang sastrawan wanita Mesir yang
bernama Nawal el-Sadawi. Novel ini menggambarkan fenomena kehidupan wanita
sebagai korban paham patriarkhi. Bagi dunia pembelajaran sastra hasil kajian
model ini sangat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis
hasil kajian ini bermanfaat sebagai pemerkaya teori sastra yang sudah ada dan
secara praktis (khusus untuk pengajaran sastra) dapat dijadikan pola dan pijakan
pengembangan model pembelajaran sastra yang berorientasi pada penumbuhan
sikap kesadaran pembelajar dalam menghadapi isu-isu gender yang sedang merebak
dalam kehidupan umat manusia saat ini.

Kata kunci: feminisme, patriarkhi, karya sastra, bahan ajar sastra, isu gender



1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak abad kesembilan belas perjuangan kaum wanita menentang penindasan
paham patriarkhi sudah menggema di muka bumi. Kaum perempuan menganggap
bahwa pendiskriminasian hak untuk kaum wanita sangat tampak. Kaum wanita dalam

*
Dr. H. Dedi Heryadi, M.Pd. adalah dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP
Universitas Siliwangi Tasikmalaya

1
kondisi yang teraniaya dan dianggap sebagai kaum lemah sehingga tidak layak untuk
hidup berprestasi setara atau berada di atas kaum pria. Kaum wanita mendam-bakan
semua pihak (pria dan wanita) memahami dan memaklumi bahwa kondisi gender
harus disikapi sebagai kodrat Illahi, bukan sebagai dasar untuk menentukan kaum
lemah dan kuat sehingga mempengaruhi pada hak-hak hidup yang dapat
diperolehnya.
Upaya-upaya gerakan kaum wanita seperti digambarkan di atas pada akhir
abad kedua puluh merambah pada dunia kesusastraan. Kajian karya sastra dengan
perspektif feminisme berupaya menggambarkan nasib kaum wanita yang selalu
teraniaya. Dengan penggambaran demikian tujuan kajian lebih terfokus pada
pembuktian dan peyakinan bagi para pencinta sastra bahwa paham patriarki masih
menjadi dasar atau pola kehidupan sosial. Dampak pemahaman terhadap hasil kajian
tersebut adalah para pembaca dan pencinta sastra sadar dan tergugah untuk
mengubah pola kehidupan sosial yang dirasa kurang adil. Mereka (para pejuang
kaum feminisme) men-nyarankan bahwa gender jangan dianggap sebagai
paramater yang lebih bersifat hakiki dan statis yang melemahkan komunitas
perempuan, tetapi merupakan fenomina sosial yang melahirkan interpretasi-interpretasi yang belum tentu kebenarannya.
Di Mesir terbit sebuah novel berjudul Women at Point Zero buah karya
sastrawan wanita yang bernama Nawal el-Sadawi. Di dalam novel tersebut, pengarang
menggambarkan liku-liku seorang perempuan yang menjadi korban paham patriarki.
Ia (pengarang) terinspirasi oleh kebobrokan sikap memperlakukan wanita yang masih
terjadi di Mesir sebagai negara muslim yang dikategorikan termaju dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi , dan kebudayaan. Hak-hak perempuan masih
2
dinomorduakan dan pelecehan seksual dengan tidak pandang posisi dan hubungan
keluarga kerap dilakukan oleh kaum pria.
Jika dilihat baik dari segi latar, pengarang, dan isi yang diceritakan, novel ini sangat
menarik untuk dikaji dengan menggunakan perspektif feminis. Di dalam novel ini
banyak model-model patriarki yang masih sering dilakukan oleh kaum pria di negara
Mesir serta bentuk-bentuk reaksi yang dilakukan oleh kaum teraniaya (wanita yang
menjadi tokoh) dalam melawan kekejaman yang dihadapinya. Materi yang
digambarkan dalam novel tersebut cukup relevan dihubungkan dengan isu-isu gender
yang ada di Indonesia. Dewasa ini begitu kerap pemberitaan baik melalui
media elektronik, maupun media cetak tentang pelecehan seksual dan pelecehan hak
terhadap kaum wanita di Indonesia.
Di samping ketertarikan dari sudut latar dan isi, penganalisisan berdasarkan
perspektif feminis pada karya sastra novel Women at Point Zero sangat penting
sebagai upaya dalam mendukung munculnya metode baru dalam kritik sastra. Di
lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia dewasa ini guru banyak yang terbelenggu
oleh kajian sastra strukturalisme sehingga tidak mustahil jika hasil pembelajaran
sastra kurang menyentuh bagi pembelajaran moral.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kajian feminisme terhadap
sastra masih merupakan model media gerakan sosial kaum wanita dalam menentang
paham patriakhi. Untuk menjadi teori kajian sastra yang mandiri serta menjadi bahan
ajar dalam pembelajaran sastra yang berfungsi sebagai wahana penumbuhan
kesadaran pembelajar tentang masalah gender di Indonesia, kajian feminisme perlu
mendapat dukungan yang serius dari para pemerhati dan kritikus sastra.
3
1.2 Rumusan Masalah
Novel berjudul Women at Point Zero merupakan salah satu karya sastra yang
dibuat oleh sastrawan wanita berkebangsaan Mesir. Karya sastra tersebut sarat
dengan liku-liku penderitaan kehidupan kaum wanita sebagai pengaruh kuatnya
paham patriarki di tempat yang menjadi latar cerita tersebut. Sebagai masalah dalam
penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan seperti berikut.
1. Model-model dominasi patriarkhi bagaimana yang digambarkan dalam karya
sastra (seperti kasus dalam novel berjudul Women at Point Zero)?
2. Reaksi seperti apa yang dilakukan oleh wanita (khususnya yang diwakili oleh
tokoh utama) dalam menghadapi model-model dominasi patriarkhi dalam
kehidupan sosial yang dirasakannya ?
3. Efektifkah hasil kajian feminisme karya sastra terhadap dunia pembelajaran
sastra Indonesia yang difungsikan untuk menyadarkan pembelajar tentang
masalah gender di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang dirumuskan tujuan penelitian adalah sebagai
berikut.
1. Untuk menggambarkan model-model dominasi patriarkhi terhadap kaum
wanita yang terdapat pada karya sastra (seperti kasus pada novel berjudul
Women at Point Zero karya Nawal el-Sadawi).
2. Untuk mengaktualisasikan sikap kaum wanita (khususnya yang diwakili oleh
tokoh utama) dalam menghadapi dominasi patriarkhi dalam kehidupan sosial.
4
3. Untuk menjelaskan keefektifan hasil kajian feminisme untuk dunia
pembelajaran sastra Indonesia yang difungsikan dalam menyadarkan
pembelajar tentang masalah gender di Indonesia.

2. Kajian Literatur
Feminisme adalah gerakan kaum wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 1994). Gerakan ini muncul akibat
ketidakpuasan kaum wanita atas paham patriarkhi yang bertolak pada lima fokus
pokok pandangan masyarakat yang sudah bersifat universal, yaitu biologis,
pengalaman, wacana, ketaksadaran, kondisi sosial dan ekonomi (Beauvoir, dalam
Selden, 1996).
Fokus pertama, dari segi biologis tertanam suatu pandangan Tota mulier in
utero yang artinya wanita tiada lain adalah suatu kandungan. Dengan kondisi biologis
demikian pandangan universal menganggap bahwa wanita sebaiknya menyadari atas
kodratnya. Kaum feminisme menolak anggapan tersebut; bahkan menganggap wanita
adalah atribut biologis yang merupakan sumber keunggulan daripada kerendahan
(inferioritas), dan secara khusus adalah sumber positif dalam kehidupan dan seni.
Fokus kedua, dari segi pengalaman wanita mempunyai pengalaman hidup yang lebih
khusus yaitu ovulasi, mensturasi, dan melahirkan. Kejadian-kejadian itu hanya wanita
yang memahami. Di samping itu, wanita memiliki pengalaman persepsi dan
kehidupan emosi yang berbeda dengan pria, misalnya tentang apa yang penting
dan tidak penting. Dalam hal ini pria dianggap memiliki ide yang lebih banyak
sementara perempuan memiliki emosi yang cukup tinggi. Menyikapi pandangan- 5
pandangan yang berkaitan dengan pengalaman ini muncul tulisan-tulisan wanita
tentang sastra yang bernada kritik yang dikenal dengan sebutan gynokritika.
Fokus ketiga yang mendapat perhatian feminis yaitu segi wacana. Dale
Spender (dalam Selden, 1996) menganggap bahwa wanita secara mendasar ditindas
oleh bahasa pria. Kita menerima alasan bahwa apa yang benar bergantung pada siapa
yang menguasai wacana sehingga wajar jika dominasi wacana oleh kaum pria telah
memerangkap kebenaran wanita di dalam kebenaran pria. Dari sudut pandang ini, ada
alasan bagi para penulis (sastrawan) wanita untuk menentang penguasaan bahasa oleh
kaum pria daripada hanya mundur ke ghetto wacana feminin. Kritikus feminin
memandang bahwa para wanita sesungguhnya telah dicuci otaknya oleh tife ideology
patriarkhi yang menghasilkan gambaran streotipe pria yang kuat dan perempuan yang
lemah.
Fokus keempat terjadinya gerakan wanita disebut gerakan ketaksadaran.
Istilah ini muncul dalam teori psikoanalitik Lacan dan Kristeva. Beberapa kritikus
feminis telah mendobrak biologisme dengan mengasosiasikan wanita dengan proses
yang cenderung meruntuhkan autoritas wacana pria. Di sini seksualitas wanita lebih
bersifat revolusioner, subversif, dan terbuka. Model kritikan seperti ini menurut Lacan
(dalam Selden, 1996) kurang tampak membawa resiko pensetreotipan, karena
pendekatan ini menolak pendefinisian kodrat seksualitas wanita. Pandangan Lacan
tersebut mendapat reakasi dan emosi yang cukup besar dari kaum wanita. Kaum
wanita menganggap bahwa pandangan itu hanya pemikiran yang sempit dan
menguatkan kebudayaan yang ada.
Fokus kelima yaitu munculnya dimensi sosiologi yang dimotori oleh kaum
marxis dalam kritik kehidupan masyarakat yang difokuskan pada bidang sosial dan
6
ekonomi. Kaum marxis mencoba menghubungkan perubahan kondisi sosial dan
ekonomi
dengan perubahan imbangan kekuatan di antara kedua jenis kelamin. Mereka (kaum
marxis) sangat setutju dengan gerakan-grakan kaum wanita dalam menolak
paham hakikat gender yang uniersal. Dengan munculnya pandangan marxis seperti
demikian kaum feminin lebih bersemangat untuk melanjutkan gerakan membela
haknya.
Seiring dengan perkembangan gerakan feminis dalam membela haknya dalam
bidang sastra muncul tokoh-tokoh feminisme yang memanfaatkan sastra sebagai
media usahanya. Beberapa tokoh yang cukup terkenal melakukan pergerakan
feminisme yang pandangannya dijadikan pijakan kajian karya sastra di antaranya
yaitu Simone de’ Beauvoir, Kate Millet, dan Germaine Greer. Seorang filsuf Perancis
yang bernama de’ Beauvoir ( 1949, dan dalam Mulyati, 2003) menaruh perhatian
pada studi tentang pe-nindasan perempuan dan konstruksi feminitas oleh kaum
laki-laki. Menurutnya, gambaran mitos yang berdasar pada psikologi, sejarah, dan
biologi hanyalah mitos-mitos buatan manusia. Mitos-mitos tersebut menempatkan
perempuan sebagai obyek pasif yang berbeda dari laki-laki. Perbedaan laki-laki dan
perempuan menurut de’Bevouir hanyalah berdasarkan persetujuan masyarakat
melalui penjelasan karakteristik biologisnya, namun penjelasannya tidak pernah tepat.
Gambaran perempuan yang saat ini ada hanyalah mitos yang diciptakan laki-laki.
Millet ( 1977, dan dalam Mulyati, 2003) sebagai tokoh feminis Amerika
memfokuskan pandangannya pada sudut ideologi. Ia berpendapat bahwa kesusastraan
merupakan dokumen dari kesadaran kolektif kaum patriarkis. Perubahan seksualitas
dalam karya sastra dapat terjadi atas tiga hal, yaitu (1) para lelaki membangun
7
karakter kaumnya dari kaum perempuan, (2) para penulis tidak menggambarkan
seksualitas dengan gabungan penyimpangan feminitas, dan (3) struktur fiksi
merupakan lukisan dari budaya laki-laki. Tokoh feminis yang bernama Greer (dalam
Mulyati, 2003 dan Selden, 1996) memainkan peranan penting dalam mendorong
kesadaran media (karya sastra) terhadap penindasan kaum wanita. Ia membuat
analisis ideologis mengenai aspek-aspek misogini dalam budaya daripada
menciptakan metode atau agenda untuk feminisme, dan menolak untuk
membedakan gambaran dalam gender, melainkan menyatukannya dalam dalam
pendekatan yang tidak berkelas.
Memperhatikan tiga pandangan tokoh di atas, dapat ditarik suatu simpulan
bahwa masalah gender tidak tepat dijadikan dasar untuk memilah-milah hak dalam
kehidupan sosial, karena gender lebih bersifat kodrati yang dianugrahkan Tuhan;
sementara munculnya pendikotomian yang merembet pada hak-hak kehidupan
merupakan dampak dari penafsiran-penafsiran yang belum tentu kebenarannya.
Dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita mereka (ketiga tokoh tersebut)
menggunakan media kajian karya sastra, karena karya sastra sebagai bentuk ekspresi
gejolak pemikiran pengarang yang terinspirasi oleh peristiwa-peristiwa yang
dirasakan, dilihat, diraba, didengar, dan dicium.
Munculnya gerakan sosial kaum wanita melalui media kajian sastra ternyata
mempengaruhi pemikiran-pemikiran para pengamat dan pengkaji karya sastra di
Indonesia. Menurut Mulyati (2003) terdapat beberapa pengamat dengan berbekalkan
dasar-dasar teori feminisme mencoba mengkaji karya sastra, di antaranya adalah (1)
Soenaryati Djayanegara menganalisis drama berjudul A Doll’s House karya Henrik
Ibsen, dan novel berjudul Daisy Miller karya Henry Jams; (2) I Wayan Artika (2002)
8
menganalisis empat novel karya A.A. Panji Tisna yang berjudul “Ni Rawit Ceti
Penjual Orang”, “Sukreni Gadis Bali”, “I Swasta Setahun di Bedahulu”, dan
“Imade Widiati Kembali kepada Tuhan”; dan (3) Sugihastuti Suharto mengkaji novel
“Siti Nurbaya”.
Seperti diakui oleh para pelopornya, teori kritik sastra feminis belumlah dapat
di-kategorikan ke dalam sebuah teori yang mapan seperti halnya teori-teori kritik
lainnya dalam studi sastra. Sebagaimana telah digambarkan di atas bahwa teori ini
lebih mencerminkan sebuah gerakan sosial yang dipicu oleh sebuah fenomena yang
dirasakan timpang dan tidak adil oleh kaum wanita. Dalam studi sastra, kehadiran
aliran ini bukanlah me-rupakan perwujudan reaksi atau salah satu bentuk terhadap
suatu aliran metode kritik sas-tra yang sudah ada sebelumnya. Tampaknya sampai
saat ini kritik sastra feminisme masihbelum mapan dan merupakan pelengkap kritik
sastra lainnya (Suharto, 2002). Memperhatikan kondisi posisi kritik feminis seperti
demikian, upaya untuk menjadikan model tersebut menjadi sebuah metode kritik
yang mandiri dan mapan masih perlu diupayakan. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan yaitu melalui peningkatan minat dan frekuensi penerapan metode kajian
sehingga dapat ditemukan dan disepakati metode kritik sastra feminis yang adekuat.
Para kritikus sastra fminisme mengibaratkan kritik sastra feminis dengan
istilah “quilt”. Quilt dijahit dan dibentuk dari potongan-potongan kain persegi yang
pada bagian bawahnya dilapisi dengan kain lembut. Pekerjaan ini bukan hanya
sekedar membutuhkan waktu lama, tetapi membutuhkan banyak pekerja. Metafor ini
mengeksplisitkan makna bahwa kritik sastra feminis serupa dengan alas quilt yang
sanggup menyatukan berbagai motif potongan kain yang bervariasi dan indah.
Sebagai alas, kritik sastra feminis berfungsi menyatukan pendirian bahwa seorang
9
wanita dapat membaca sebagai wanita, mengarang sebagai wanita, dan menafsirkan
karya sastra sebagai perempuan (Suharto, 2002).
Menurut Humm (2002) yang unik dalam teori feminisme adalah ketegasan
keterkaitan antara teori dan praktek, antara publik dan privat. Dalam feminisme teori
dan pengalaman mempunyai hubungan khusus yang dikemas dalam “the personal is
political”.
Dalam dunia pembelajaran sastra, kritik sastra feminis belum menjadi bagian
program kurikulum pendidikan bahasa dan sastra di lembaga-lembaga pendidikan
Indonesia. Teori strukturalisme masih menjadi pijakan pengembangan pembelajaran
sastra Indonesia. Kondisi ini, apabila dihubungkan dengan sasaran pembelajaran
sastra yang diprogramkan dalam kurikulum tampaknya sangat kontradiktif.
Pembelajaran sastra pada setiap lembaga pendidikan diarahkan untuk membangun
sikap moral yang baik melalui penggalian nilai-nilai positif yang terkandung dalam
karya sastra. Hal tersebut tercermin dalam tujuan pembelajaran sastra pada tingkat
dasar dan menengah yaitu siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra
untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (Depdikbud, 1994). Teori
strukturalisme lebih menekankan pada pemahaman intern hubungan struktur
pembangun karya sastra, sementara hal-hal yang berhubungan dengan implikasi
nilai-nilai untuk kepentingan kehidupan di luar karya sastra tidak menjadi
pembahasan utama (Heryadi, 2003).
Nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam karya sastra merupakan bentuk
ekspresi kehidupan pengarang berdasarkan pengalaman hidup yang dirasakan, dicium,
dan dilihatnya. Oleh karena itu, sangatlah tepat jika nilai-nilai yang terkandung dalam
10
karya menjadi bahan kajian dalam hubungannya dengan kondisi kehidupan nyata,
sehingga orang yang membaca karya sastra tidak hanya memahami dan menikmati
jalan ceritanya, melainkan dapat mengambil nilai-nilai moral yang bermanfaat bagi
kehidupan bermasyarakat yang bermartabat. Kajian feminis karya sastra dalam
pembelajaran sastra dapat membangun kemampuan pembelajar akan nilai-nilai
kemanusian berdasarkan gender sehingga diharapkan muncul sikap moral saling
memahami dan menghargai hak-hak yang diembannya dalam kehidupan.

3. Metodologi Penelitian
3.1 Metode yang digunakan
Dalam pengkajian masalah yang dirumuskan peneliti bertolak pada
pendekatan kualitatif dengan menggunakan dua metode penelitian, yaitu metode
deskriptif analitis dan metode action research. Metode deskriptif analitis digunakan
dalam mengkaji masalah nomor satu dan dua, sedangkan metode action research
digunakan dalam mengkaji masalah nomor tiga.
Prosedur kerja dengan menggunakan metode deskriptif dalam mengkaji
masalah nomor satu dan dua peneliti mengikuti prosedur yang dikembangkan oleh
Djayanegara (2000) yaitu: tahap pertama pengidentifikasian tokoh-tokoh wanita
dalam sebuah karya sastra, dengan menganjukan pertanyaan-pertanyaan : Bagaimana
kedudukan tokoh itu dalam masyarakat ? Apa tujuan hidupnya ? Bagaimana
gambaran wataknya ? Bagaimana pendirian dan ucapan-ucapannya: tahap kedua,
identifikasi tokoh-tokoh lain (terutama tokoh pria) yang memiliki keterkaitan dengan
tokoh perempuan yang diamati; dan tahap ketiga, pengamatan sikap penulisnya,
terutama nada dan suasana yang dihadirkan (menyindir,menghina, dan sebagainya).
11
Nada dan suasana cerita mampu mengungkapkan maksud penulis dalam
menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau didukung oleh para
feminis. Untuk membantu mengungkap pandangan dan sikap penulis sebaiknya
memperhatikan latar belakangnya, misalnya soal waktu dan tempat penulisan,
biografinya, atau tentang kritik terhadap karya-karyanya (Mulyati, 2003).
Prosedur penggunaan metode action research dalam mengkaji masalah
nomor tiga dilakukan dengan melalui fase-fase seperti berikut.
Fase pertama, pembuatan rancangan pembelajaran, meliputi :
a. penentuan tujuan dan program (bahan rambu-rambu evaluasi) pembelajaran;
b. penentuan urutan (syntax) kegiatan pembelajaran seperti berikut.

Tahap I
Observasi Awal
Tahap II
Pembacaan Novel
Tahap III
Pengenalan Tokoh & Watak
Tahap IV
Pembahasan Bentuk Patriarkhi
Tahap V
Oservasi Akhir





Fase kedua, pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan rancangan yang telah dibuat.
Fase ketiga, penganalisisan dan perefleksian hasil pelaksanaan pembelajaran.
Fase keempat, perancangan bentuk siklus pembelajaran berikutnya berdasarkan hasil
perefleksian.
3.2 Teknik yang digunakan
Teknik penelitian dilakukan dengan perpaduan tiga cara, yaitu: observasi
wacana, wawancara tidak berstruktur, dan observasi berperan serta. Observasi wacana
dilakukan untuk mengenali data yang diperlukan mengenai novel yang dijadikan
kasus penganalisisan. Kemudian, data yang diperoleh dideskripsikan dan dibahas
secara analitis dengan pendekatan induktif dan deduktif berdasarkan norma-norma
12
kehidupan dan nilai gender sehingga permasalahan nomor satu dan dua dapat
terjawab.
Wawancara tidak berstruktur dan observasi berperan serta dilakukan dalam
menghimpun dan membahas data tentang: (1) sikap dan moralitas pembelajar
sebagai sampel penelitian tentang masalah gender dalam kehidupan, dan (2)
informasi-informasi yang terjadi saat proses pembelajaran dilaksanakan. Setiap
informasi yang diperoleh dibahas secara induktif melalui prosedur pendeskripsian,
penganalisisan, dan perefleksian sehingga diperoleh simpulan yang digunakan untuk
menjawab masalah penelitan ketiga.
3.3 Sumber Data Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitan, sumber data penelitian meliputi karya
sastra yang mengandung nilai-nilai feminisme, dan pembelajar yang diberi
pembelajaran sastra dengan menggunakan dasar acuan kajian sastra berdasarkan
prespektif feminisme. Sumber data yang berkaitan dengan karya sastra diambil
sampel secara purposif novel berjudul Women at Point Zero karya Nawal el-Sadawi,
dengan pertimbangan novel ini mengandung nilai-nilai patriarkhi yang sangat cocok
menjadi bahan kajian feminisme dalam bidang sastra. Sumber data yang berkaitan
dengan proses pembelajaran sastra dengan menerapkan perspektif kajian feminisme
diambil sampel mahasiswa berjenis kelamin laki-laki sebanyak 20 orang mahasiswa
semester pertama Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

13
4. Hasil Penelitian dan Bahasan
Sesuai dengan metode yang digunakan hasil penelitian yang dapat diperoleh
sebagai berikut.
4.1 Hal-hal yang Berhubungan dengan Masalah Pertama dan Kedua
4.1.1 Selintas Gambaran Cerita
Firdaus (tokoh aku) adalah seorang pelacur profesional di kota Kairo. Selama
hidup, ia menghadapi liku-liku kehidupan. Pada masa kecil, ia hidup pada lingkungan
keluarga petani miskin dengan dominasi patriakhi sang ayah yang egois. Ia
mengalami pelecehan seks sejak kecil oleh teman laki-laki sepermainannya dan
pamannya yang secara diam-diam dikaguminya. Sepeninggal orang tuanya, ia ikut
bersama pamannya yang masih membujang ke Kairo,dan ia disekolahkan di sana.
Ketika masa remaja setelah pamannya berkeluarga dan istrinya tidak menyukainya, ia
diasingkan ke asrama yang nyaris tanpa perhatian dan kasih sayang keluarga. Di situ
pertama kali ia jatuh cinta; cinta pertama kepada guru perempuannya. Ketidaklaziman
cinta ini berakhir dengan rasa kecewa yang mendalam. Selepas sekolah, ia kembali ke
rumah pamannya, namun harus menelan berbagai kepahitan. Dalam
ketakberdayaannya, pada usia sembilan belas tahun ia dipaksa menikah dengan
seorang duda tua berusia enam puluh tahunan yang dagunya borokan, bahil, egois,
dan ringan tangan. Keterpurukan hidupnya memaksa ia untuk menerima derita secara
berganti-ganti dari derita ke satu ke derita lainnya. Mula-mula jatuh kepada Bayoumi,
lelaki hidung belang yang telah menyekap dan menikmatinya tanpa bayaran dan juga
menjualnya kepada lelaki lain. Dalam pengembaraan berikutnya, ia jatuh kepada
tangan pelacur profesional, Shafira Salah el-Dine yang menyulapnya menjadi pelacur
kelas tinggi dengan harga tinggi. Namun, hal itu tidak lebih dari sekedar korban
14
eksploitasi. Sempat menjadi wanita terhormat dengan profesi sebagai karyawan kecil
pada sebuah perusahaan, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali menjadi
pelacur profesional setelah hatinya terluka dan dikhianati oleh cinta sejati yang
hendak diabdikannya untuk pemuda yang bernama Ibrahim, tokoh revolusioner
pembela keadilan untuk karyawan pada perusahaan tempatnya bekerja. Di tengah-tengah luka yang dideritanya, bertemu dengan seorang lelaki kelas atas yang telah
membayarnya 10 pon untuk seks yang dimintanya. Sejak itu, dia sadar bahwa
tubuhnya punya nilai jual, sehingga menjadi pelacur profesional termahal dan
tersukses di kota Kairo. Dengan profesi yang didasarkan atas pilihannya sendiri secara
merdeka, ia sempat dipenjara gara-gara menolak pesanan salah seorang kepala negara.
Dengan uang ia membeli kehormatan, menyewa pengacara termahal guna
mempertahankan kehormatannya dari jeratan penjara untuk suatu prinsip yang
diyakininya sebagai kebenaran. Setelah terbebas dari ancaman penjara, ia semakin
terkenal sebagai pelacur terhormat. Sampai akhirnya, seorang lelaki germo merampas
kebebasannya. Dengan kesadaran bahwa tubuhnya milik dirinya sendiri, Firdaus
memutuskan untuk mem bebaskan diri dari perbudakan oleh siapa pun, termasuk
lelaki germo yang merampas sebagian besar uang yang seharusnya ia terima. Melalui
perlawanan sengit dalam pertarungan fisik, sang germo terbunuh oleh pisaunya
sendiri yang semula hendak digunakannya untuk membunuh Firdaus. Sebuah
pengakuan sebagai pembunuh terlontar begitu saja di hadapan seorang Pangeran Arab
yang telah membeli tubuhnya seharga 3000 pon. Dengan bangga dan tegar dia
menjalani kehidupan penjara dan menyambut hukuman gantung yang akan
diterimanya sebagai sebuah jalan menuju pembebasan sejati (el-Sadawi, terj.
Sutaarga, 1989).
15
4.1.2 Model-model Budaya Patriarkhi yang ditonjolkan Pengarang
Dari rangkaian peristiwa yang digambarkan dalam novel “Women at Point
Zero” pengarang mengeksplisitkan ketimpangan-ketimpangan kehidupan sosial
berdasarkan gender yang masih membudaya pada latar cerita (yaitu di Negeri Mesir).
Dominasi kaum pria terhadap kaum wanita masih sangat tampak dalam
pelbagai kehidupan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan sosial
lainnya. Dalam lingkungan keluarga digambarkan bagaimana kuatnya peranan
(otoriternya) suami dalam mengambil segala keputusan, sementara istri harus
berperan sebagai penurut dan pengikut segala yang diperintakan. Kejadian-kejadian
ini menonjol di lingkungan keluarga ayah-ibu tokoh utama, keluarga paman-bibi
tokoh utama, dan keluarga tokoh utama sendiri (Syekh Mahmoud-Firdaus). Dalam
kehidupan sosial dominasi pria sangat tampak, misalnya dalam bidang pendidikan
hanya kaum prialah yang berhak mendapat pendidikan tinggi (seperti digambarkan
oleh tokoh paman yang bersekolah di El Azhar, Kairo), sementara kaum wanita
banyak yang tidak bersekolah atau hanya berhak sampai sekolah rendahan.
Imperioritas kaum wanita sebagai dampak superioritas kaum pria sangat ditonjolkan
pengarang. Hal ini tergambar dalam seluk beluk perjalanan hidup tokoh utama, yaitu
seorang wanita yang senantiasa dirundung malang akibat perilaku dan kebejatan
moral kaum pria. Pada masa kecil tokoh utama menjadi bocah yang penuh beban
akibat sang ayah yang begitu otoriter, pada masa anak-anak ia mendapat pelecehan
seks dari teman prianya, pada masa memasuki remaja ia mendapat pelecehan seks
dari pamannya, kemudian memasuki masa dewasa dengan putus asa akibat perbuatan-perbuatan jahat kaum pria ia terjerumus dalam dunia pelacuran yang melayani nafsu
birahi kaum pria dari pelbagai kalangan mulai rakyat biasa sampai para pemimpin
16
negeri. Pada akhir hayatnya, dalam upaya mempertahankan haknya yang
merupakan gambaran puncak ketertindasannya sebagai bentuk ketakadilan aturan
hukum di negeri itu ia dipenjara dan menerima putusan hukuman gantung.
4.1.3 Bentuk Reaksi Penentangan Dominasi Patriarkhi
Di dalam menghadapi gejolak superioritas paham patriarkhi dalam kehidupan,
secara implisit pengarang menyampaikan rekasi-reaksi perlawanannya yang
tercerminkan oleh perilaku tokoh utama cerita. Sejak awal cerita tokoh utama
berupaya bertahan hidup tanpa keputusasaan dalam mengahadapi
kenistaan/penindasan kehidupan. Ia seorang wanita pertama yang berupaya untuk
mendapat hak-hak dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Tindakan ini merupakan
gambaran gerakan kaum wanita sebagai kaum empioritas dalam menentang paham
patriarkis bahwa wanita tidak perlu mendapat hak-hak kehidupan seperti itu. Dalam
mempertahankan harga diri, tokoh utama cerita berani mengorbankan dan
mepertaruhkan jiwa dan raga. Ketika penderitaan demi penderitaan dan kemalangan
demi kemalangan berakumulasi, wanita dapat membuktikan apa yang bisa dan biasa
dilakukan pria juga bisa dilakukan oleh kaum wanita. Hal ini dibuktikan saat kondisi
terdesak hendak dibunuh, ia melakukan perlawanan hingga lawan (lelaki germo)
dapat dibunuhnya. Saat terpaksa terjerumus pada lubang pelacuran ia berusaha
menjual diri dengan harga tawaran tinggi, dengan konsumen yang ditawarinya tidak
tanggung-tanggung yaitu seorang pangeran dari negeri Arab. Pada puncak kepedihan
yang muncul di ulu hatinya, ketika bergaul dengan Pangeran Arab, ia dengan berani
dan jujur menyatakan bahwa dirinya adalah pembunuh dan bisa membunuh siapa
saja termasuk pangeran dalam membela terwujudnya keadilan dan kebenaran di
17
muka bumi, meskipun pada akhir cerita sebagai titik nol dalam kehidupannya, ia
harus rela dan tegar menghadapi hukum gantung.
Reaksi tersebut menggambarkan bahwa wanita merasa dirinya sebagai ciptaan
Tuhan Yang Mahakuasa memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum pria.
Mereka menganggap bahwa perbedaan biologis yang menunjukkan kualitas fisik yang
dianggap lemah serta sifat pengalaman khusus yang dimiliki wanita (seperti
ovulasi, menstrurasi, dan melahirkan) jangan dijadikan dasar pijakan budaya
melemahkan kaum wanita. Pria/laki-laki harus menyadari bahwa wanita merupakan
pendamping hidup yang sangat dibutuhkan dan dihormati, karena Tuhan menciptakan
wanita bukan hanya sebagai pelengkap bagi kaum pria, melainkan sama-sama
dibebani tanggung jawab yang sangat proporsional.
4.2 Hal-hal yang Berhubungan dengan Masalah Ketiga
Berdasarkan hasil action research tentang proses pembelajaran sastra berbasis
kajian sastra feminisme yang dilaksanakan pada sampel penelitian dengan melalui
hasil wawancara mendalam dan observasi berpartisipasi selama proses pembelajaran
diperoleh gambaran perubahan (kemajuan) sikap, pandangan tentang hak-hak gender
sampel penelitian dari sebelum pembelajaran (observasi awal) sampai sesudah
pembelajaran (observasi akhir). Kemajuan sikap tersebut digambarkan pada Tabel 1.








18
Tabel 1
Gambaran Kemajuan Sikap Moral Kaum Pria terhadap Peran Kaum Wanita dalam
Kehidupan dari Sebelum dan Sesudah Pembelajaran Dilaksanakan

No Peranan dalam Bidang Observasi Awal Observasi Akhir
1 Lingkungan Keluarga Sebanyak 84% sampel
menyatakan bahwa wani-ta
(khususnya ibu rumah
tangga) harus mengikuti
kehendak pria (suami);
sisanya sebanyak 16%
menyatakan bahwa pria
dan wanita menduduki
peran yang sama.
Semua sampel menye-pakati pandangan bahwa
pria dan wanita memiliki
hak dan tanggung jawab
yang sama dalam keluar-ga namun harus propor-sional dengan kondisi yang
dimiliki.
2 Kehidupan Sosial Dalam kehidupan berma-syarakat disepakati oleh
semua sampel bahwa wa-nita mempunyai hak dan
kewajiban yang sama de-ngan pria, namun wanita
jangan overacting se-hingga merusak norma dan
budaya bangsa, karena hal
tersebut men-jadi sumber
terjadinya kebejatan moral
kaum pria.
Hak dan kewajiban yang
sama antara wanita de-ngan perlu dijunjung
tinggi. Budaya saling
menghormati terhadap
keberadaan hak kodrati
perlu dibudayakan, se-hingga keunggulan yang
dimiliki tidak menjadi alat
untuk membuat pi-hak lain
teraniaya.
3. pendidikan Sebanyak 68% sampel
menyatakan bahwa seba-iknya wanita jangan di-beri
kesempatan mengi-kuti
pendidikan jenjang paling
tinggi karena berakibat
wanita banyak menuntut
hak-hak yang tidak sesuai
dengan ha-kikat
kewanitaannya. Si-sanya
sebanyak 32% me-nyatakan wanita boleh
mengikuti pendidikan
sampai tingkat tertinggi
jika mampu.
Semua sampel menye-pakati bahwa wanita ber-
hak mengikuti berbagai
jenjang dan bentuk pen-didikan, namun perlu
dipertimbangkan bahwa
bidang pendidikan yang
diambil oleh mereka se-suai dengan hakikat ke-wanitaannya.
4 pekerjaan Semua sampel menye-pakati bahwa wanita se-baiknya mengambil pe-kerjaan yang mudah dan
tidak banyak meniuntut
tanggung jawab yang
berat.
Semua sampel menyepa-kati bahwa wanita berhak
memperoleh pekerjaan apa
pun asalkan mereka
mampu dan tidak me-langgar kodrat kewanita-annya.


19
Pandangan sampel terhadap peranan wanita dari empat aspek dalam
kehidupan dari sebelum sampai sesudah pembelajaran sastra berbasis kajian
perspektif feminis dilaksanakan menunjukkan perubahan sikap moral yang cukup
positif. Sebelum pembelajaran tentang gender diberikan mereka masih beranggapan
bahwa pria memiliki posisi dan kekuatan superior jika dibandingkan dengan wanita
yang imperior. Namun, setelah pembelajaran sastra berbasis kajian perspektif
feminisme dengan menggunakan kasus penyajian novel Women at Point Zero atau
“Wanita di Titik Nol” mereka menyadari bahwa pria dan wanita diciptakan oleh
Tuhan menduduki hak dan kewajiban yang sama dan masing-masing harus
menyadari kelemahan dan keunggulan yang dimiliki, sehingga antara keduanya dapat
saling menjunjung tinggi dan saling menghormati.
Perubahan sikap moral yang tergambarkan di atas merupakan suatu
konsekuensi logis dari proses pembelajaran yang dilaksanakan. Oleh karena itu,
proses pembelajaran sastra berbasis kajian sastra berdasarkan perspektif feminis
sangat efektif untuk membangun sikap moral positif pembelajar tentang masalah
gender di Indonesia. Tampak bahwa pembelajaran sastra dapat menjadi media yang
sangat efektif dalam membangun sikap moral positif pembelajar sebagai bekal hidup
berbangsa dan bernegara.

5. Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan temuan hasil penelitian, dapatlah diperoleh simpulan-simpulan
bahwa model-model dominasi patriarkhi yang digambarkan pengarang dalam novel
berjudul Women at Point Zero yaitu (a) masih membudayanya dominasi kaum laki-laki dalam pelbagai ruang kehidupan, seperti pada lingkungan keluarga, lapangan
20
kerja, dan perolehan pendidikan, dan (b) kesuperioritasan laki-laki (khususnya dari
segi kekuatan fisik) masih dijadikan andalan dalam melaksanakan pelecehan terhadap
perempuan sebagai kaum lemah (imperioritas). Reaksi yang dilakukan kaum wanita
(khususnya yang diwakili oleh pengarang) dalam menentang ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi yaitu berupaya dengan pantang menyerah walaupun
harus mengorbankan fisik dan mental dengan tujuan (a) dapat terwujudnya sistem
keadilan yang baik dengan tidak selalu bertolak pada kondisi gender, karena
masalah gender harus disikapi sebagai kodrat Ilahi, bukan kebudayaan, dan (b) dapat
memperoleh hak-hak hidup yang layak dalam pelbagai lapangan kehidupan (seperti
pada lingkungan kehidupan keluarga dan lingkungan kehidupan sosial lainnya).
Kemudian, berdasarkan hasil action research pada mahasiswa semester pertama
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya dikatahui bahwa Model pembelajaran
sastra berbasis kajian perspektif feminis sangat efektif dalam menumbuhkan sikap
moral pembelajar tentang masalah gender dalam kehidupan.
Simpulan di atas dapat direkomendasikan khususnya kepada para pengkaji
pemerhati, dan pengajar sastra untuk dilakukan analisis lebih lanjut terutama dalam
rangka melengkapi ketersediaan bahan pembelajaran sastra. Dalam dunia
pembelajaran sastra para pengajar sastra dituntut untuk memperkaya khasanah
pemahaman teori kajian sastra. Sebagaimana telah dikemukakan, kajian sastra
berdasarkan perspektif feminisme masih dianggap model baru dan belum menjadi
metode kajian sastra yang mandiri. Oleh karena itu, untuk mendukung terwujudnya
metode kajian baru dalam sastra, model ini perlu diangkat menjadi bahan
pembelajaran sastra oleh para pengajar sastra.
21
Untuk kepentingan pengembangan praktek pembelajaran sastra sebagai sarana
pembangun moral, direkomendasikan kepada guru (dosen) sastra Indonesia untuk
mengembangkan lebih lanjut model pembelajaran sastra berbasis kajian perspektif
feminisme melalui pengaplikasian pada peserta didik. Jika model ini banyak
diaplikasikan diharapkan menjadi model yang mantap dan menjadi khazanah
kekayaan model pembelajaran sastra Indonesia.


















22
Daftar Pustaka

Artika, I Wayan. 2002. “Ruang-ruang Migrasi dalam Sastra (Ideologi Patriarkhi
dalam Empat Novel A.A. Panji Tisna)” tersedia pada www.sekitarkita.com
2002.

De Beauvoir, Simone (1949) The Second Sex. New York : Bantam Books.

Depdikbud .1994. Garis-garis Besar Program Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdikbud.

Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Puistaka.

Djayanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Jakarta :
Gramedia.

El-Sadawi, Nawal (terj. Amir Sutaarga). 1989. Perempuan di Titik Nol. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.

Heryadi, Dedi. 2003. Kajian Sastra Berdasarkan Pandangan Strukturalisme.
Tasikmalaya : FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Millet, Kate. 1977. Sexual Polittics. London : Virago.

Humm, Maggie (terj. Mundi Rahayu). 2000. Ekslopedia Feminisme. Surakarta : Fajar
Pustaka Baru.

Mulyati, Yeti. 2003. “Kritik Sastra Feminis” Teori Sastra. Bandung : Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia PPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Selden, Raman and Wodowson. 1996. Contemporary Literary Theory. Lexington :
The University Press of Kentucky.

Suharto, Sugihastuti. 2002. Kritik Sastra Feminis. Jogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.







23

MAKALAH MATEMATIKA

Profil Gaya Berpikir Siswa SMP dalam Belajar Matematika


Suradi*)

Abstrak: Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan profil gaya berpikir siswa
SMP, dalam kaitannya dengan prestasi belajar matematika, yang dapat digunakan
sebagai suatu pertimbangan bagi guru dalam melayani/membimbing siswa
berdasarkan gaya individual dalam belajar matematika. Penelitian ini juga dapat
menjadi umpan balik dalam menilai apakah pengajaran yang selama ini terlaksana
sebagai masukan instrumental memberikan dampak berarti bagi pengembangan
prestasi belajar siswa. Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa: (1) siswa dengan gaya
belajar Field Dependent (FD) pada umumnya berpikir sekuensial konkret, sedangkan
siswa Field Independent (FI) berpikir acak abstrak; (2) gaya berpikir mempunyai
pengaruh terhadap prestasi belajar matematika siswa SMP; dan (3) prestasi belajar
matematika siswa FI lebih baik jika dibandingkan siswa FD. Sebagai implikasi yang
diperoleh dari hasil penelitian ini, disarankan agar dalam pembelajaran matematika
dioptimalkan interaksi antara siswa FI dan FD, dan memberikan pembelajaran yang
banyak berkaitan dengan dunia nyata siswa. Pembelajaran hendaknya dimulai dari hal
yang realistik bagi siswa ke hal yang abstrak, karena cara siswa SMP berpikir masih
didominasi sekuensial konkret dan acak abstrak.
Kata kunci: gaya berpikir, field dependent, field independent, sistem persamaan linier,
sekuensial, konkret, acak abstrak


1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Banyak pendapat dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa masih banyak
siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika, yang ditandai dengan rendahnya
prestasi belajar pada bidang studi tersebut. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan
matematika selalu menjadi topik menarik untuk didiskusikan. Berbagai upaya telah dan
terus dilakukan untuk mengatasi kesulitan belajar matematika tersebut. Salah satu upaya
adalah dengan memperhatikan penyebab kesulitan, baik yang bersumber dari “diri siswa
sendiri” maupun yang bersumber dari “luar diri siswa”.


*)
Dosen Matematika FMIPA Universitas Negeri Makassar

1

Matematika sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah sangat diperlukan untuk
menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis, sistematis dan kritis. Demikian pula
matematika telah menunjukkan kekuatannya dengan adanya penerapan matematika
pada bidang-bidang lain dan pada kehidupan sehari-hari. Menurut Hudoyo (1988), setiap
teori matematika harus memperhitungkan kekuatan matematika dalam penerapannya
pada bidang-bidang lain.
Dalam konsep kurikulum matematika 2004 (Depdiknas, 2003), dikemukakan
bahwa tujuan umum pendidikan matematika di SMP ditekankan kepada siswa agar
memiliki: (1) kemampuan yang berkaitan dengan matematika sehingga dapat digunakan
untuk memecahkan masalah matematika, pelajaran lain, ataupun masalah yang berkaitan
dengan kehidupan nyata; (2) kemampuan menggunakan matematika sebagai alat
komunikasi; dan (3) kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang
dapat dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, berpikir logis, berpikir
sistematis, bersifat objektif, bersifat jujur, bersifat disiplin dalam memandang dan
menyelesaikan masalah.
Dalam kaitan dengan tujuan pengajaran matematika, Soedjadi (1992) menyatakan
bahwa pengajaran matematika di setiap jenjang persekolahan pada dasarnya mengacu
pada dua tujuan pokok, yaitu tujuan formal dan tujuan material. Tujuan formal
matematika adalah berkaitan dengan penataan nalar dan pembentukan sikap anak didik,
sedangkan tujuan material pengajaran matematika adalah berkaitan dengan penggunaan
dan penerapan matematika, baik dalam bidang matematika sendiri maupun bidang
lainnya. Salah satu materi matematika sekolah yang sering diberikan sebagai contoh
penerapan adalah Sistem Persamaan Linier (SPL).
Berbagai penelitian melaporkan bahwa prestasi belajar matematika siswa SMP
masih rendah, khususnya dalam menyelesaikan masalah SPL dua variabel. Masalah ini

2

sangat terkait dengan kemampuan belajar siswa berdasarkan gaya kognitif dan gaya
berpikir yang dimilikinya. Dalam penelitian ini prestasi belajar matematika yang
dimaksud adalah skor yang diperoleh siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang
berkaitan dengan SPL dua variabel, sedangkan gaya berpikir yang dimaksudkan
menurut pengertian dari Gregorc, yaitu gaya berpikir sekuensial konkret (SK), acak
konkret (AK), acak abstrak (AA), dan sekuensial Abstrak (SA). Demikian juga gaya kognitif
yang digunakan berdasarkan tipe dari Witkin, yaitu gaya kognitif tipe field dependent (FD)
dan gaya kognitif tipe field independent (FI).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
(1) bagaimana profil gaya berpikir siswa ditinjau dari gaya kognitif yang dimilikinya? dan
(2) bagaimana prestasi belajar siswa pada SPL dua variabel ditinjau dari gaya berpikir
yang dimilikinya?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mendeskripsikan profil gaya berpikir siswa
berdasarkan gaya kognitifnya dalam memahami konsep dan menyelesaikan soal-soal SPL
dua variabel; (2) mengadakan eksplorasi tentang hasil belajar dan gaya berpikir siswa
field dependent dan field independent; (3) menganalisis pengaruh antara gaya berpikir
dan prestasi belajar, ditinjau dari gaya kognitifnya; dan (4) membandingkan prestasi
belajar antara kelompok siswa field dependent dan field independent.

2. Kajian Literatur
2.1. Prestasi Belajar Matematika
Belajar matematika sebagai proses, yaitu berupa kegiatan aktif dan upaya siswa
dalam memahami dan menguasai matematika. Kegiatan aktif yang dimaksud adalah

3

pengalaman belajar matematika yang diperoleh melalui interaksi siswa dengan
matematika dalam konteks kegiatan mengajar belajar di sekolah.
Selain memiliki objek yang abstrak dan struktur yang berpola deduktif,
matematika juga menggunakan bahasa simbolik. Dengan demikian, belajar matematika
berarti belajar menggunakan dan memanipulasi simbol-simbol. Namun, perlu diketahui
bahwa sebelum memanipulasi simbol-simbol itu, yang penting adalah memahami arti
dari ide yang disimbolkan itu. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi verbalisasi, yaitu
menghafal simbol tanpa mengetahui apa yang disimbolkan. Dengan kata lain, dalam
belajar matematika menghafal tetap diperlukan, tetapi sebelum menghafal terlebih dahulu
harus mengetahui artinya.
Dalam belajar matematika, seorang siswa akan lebih mudah mempelajari materi
matematika apabila yang bersangkutan telah memahami materi prasyarat dari materi
yang sedang dipelajari. Hal ini perlu karena sifat kehirarkian materi matematika sangat
kuat. Kelemahan atas penguasaan materi sebelumnya atau materi prasyarat akan
menyulitkan dalam mempelajari materi selanjutnya. Misalnya dalam mempelajari konsep
B yang berdasarkan konsep A, perlu memahami konsep A terlebih dahulu. Tanpa
memahami konsep A tidak mungkin memahami konsep B. Oleh karena itu, belajar
matematika harus dilakukan secara bertahap, berurutan, dan berkesinambungan.
Dalam kaitannya dengan materi SPL dua variabel di kelas 2 SMP, pemahaman
materi prasyarat seperti operasi hitung yang memuat variabel, persamaan, dan lain
sebagainya akan sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa, karena tanpa
memahami atau menguasai konsep dari materi prasyarat yang disebutkan di atas maka
siswa akan menghadapi kesulitan dalam mempelajari materi SPL tersebut. Sebaliknya,
jika siswa tidak mengalami kesulitan dalam belajar SPL maka ia akan mudah

4

mempelajari topik lebih rumit di tingkat yang lebih tinggi, seperti pada topik sistem
ketidaksamaan linear, dan topik program linear.
Karena sifat hirarkis dari materi SPL begitu kuat maka sangat diperlukan
kesiapan siswa dalam belajar SPL dua variabel. Menurut Hudoyo (1979) kesiapan
intelektual merupakan syarat mutlak bagi anak yang mempelajari matematika, hal ini
disebabkan matematika merupakan ilmu yang berstruktur dan cara memikirkannya
menggunakan abstraksi dan generalisasi. Selanjutnya, Bruner (dalam Dahar, 1989)
menyatakan bahwa kesiapan terdiri atas penguasaan keterampilan yang lebih sederhana
mengizinkan seseorang mencapai keterampilan yang lebih tinggi tingkatannya.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat dinyatakan bahwa kesiapan belajar siswa
dalam sistem persamaan linear dua variabel sangat mendukung terhadap pemahaman
dan penguasaan materi selanjutnya, seperti materi sistem persamaan linear tiga variabel,
materi sistem ketidaksamaan linear, materi program linear dan sebagainya. Berdasarkan
uraian di atas maka prestasi belajar matematika yang dimaksudkan dalam tulisan ini
adalah skor yang diperoleh siswa melalui tes prestasi belajar setelah mengikuti
pembelajaran matematika dengan materi SPL dua variabel.
2.2. Gaya Berpikir Siswa dalam Belajar Matematika
Setiap individu memiliki cara tersendiri yang ditempuh dalam menyusun apa
yang dilihat, diingat dan dipikirkan. Mereka dapat berbeda dalam cara pendekatan
terhadap situasi belajar, dalam cara menerima, mengorganisasikan dan menghubungkan
pengalaman-pengalaman mereka, serta dalam cara merespon metode pengajaran
tertentu. Perbedaan-perbedaan itu, menurut Slameto (dalam Labulan, 1995) bukan
merupakan cerminan dari tingkat kecerdasan atau pola-pola kemampuan lain, akan
tetapi ada kaitannya dengan memproses dan menyusun informasi dan cara siswa
mereaksi stimulus lingkungan. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki setiap individu

5

dalam cara memproses dan menyusun serta mengolah informasi berdasarkan
pengalaman-pengalaman mereka dikenal sebagai gaya kognitif. Mahmud (1990)
mengemukakan bahwa gaya konitif adalah cara siswa memberikan persepsi dan
menyusun informasi yang berasal dari lingkungan sekitar.
Gaya kognitif menurut Nasution (1992) terdiri dari (1) field dependent-indepen-dent, (2) implusif-reflektif, dan (3) preseptif/reseptif-sistematis/intuitif. Pada penelitian
ini, gaya kognitif yang digunakan adalah gaya kognitif tipe field dependent (FD) dan
field independent (FI). Ciri-ciri siswa yang memiliki tipe FD-FI dikemukakan Witkin
(dalam Nasution, 1992), yaitu: (1) siswa yang memiliki gaya kognitif tipe FD
cenderung mempersepsi suatu pola sebagai suatu keseluruhan. Sukar baginya untuk
memusatkan perhatian pada satu aspek situasi atau menganalisis suatu pola menjadi
bermacam-macam; (2) siswa yang memiliki gaya kognitif tipe FI cenderung
mempersepsi bagian-bagian yang terpisah dari suatu pola menurut komponen-komponennya.
Menurut Good & Brophy (dalam Ratumanan, 2001) orang dengan diferensiasi
psikologikal rendah (field dependent) mengalami kesulitan dalam membedakan stimulus
dari konteks di mana stimuli tersebut dilekatkan (digabungkan), sehingga persepsi mereka
mudah dipengaruhi oleh manipulasi dari konteks di sekelilingnya. Sebaliknya, orang
dengan diferensiasi psikologi tinggi (field independent) lebih analitik. Mereka dapat
memisahkan stimuli dari konteks sehingga persepsi mereka kurang terpengaruh dari
perubahan dalam konteks terjadi (dimasukkan).
Setiap gaya kognitif tersebut mengandung kelebihan dan kekurangan. Siswa
yang memiliki gaya kognitif FD ternyata lebih kuat mengingat informasi-informasi
sosial seperti percakapan atau interaksi antar pribadi. Dalam hal pelajaran, siswa
tersebut lebih mudah mempelajari sejarah, kesusasteraan, bahasa dan ilmu pengetahuan

6

sosial. Berbeda halnya dengan siswa yang memiliki gaya kognitif FI, siswa ini lebih
mudah mengurai hal-hal yang kompleks dan lebih mudah memecahkan persoalan-persoalan, siswa FI lebih mudah mempelajari ilmu pengetahuan alam dan matematika.
Untuk mengukur gaya kognitif siswa FD-FI dapat digunakan instrumen yang
dikembangkan oleh Witkin yang disebut Group Embedded Figure Test (GEFT).
Instrumen tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diujicobakan oleh
Ismanu (1988), Cahyowati (1990), dan juga digunakan Labulan (1995). Instrumen
GEFT menggunakan gambar-gambar rumit dan sederhana. Gambar yang rumit memuat
gambar sederhana dan responden diminta untuk menebalkan gambar sederhana tersebut
dalam gambar rumit. Untuk menggolongkan siswa dalam tipe FD atau FI digunakan
patokan skor 50% dari skor maksimal. Jika siswa memperoleh skor kurang dari 50%
skor maksimal maka digolongkan dalam tipe FD. Jika siswa memperoleh skor melebihi
50% skor maksimal maka digolongkan dalam tipe FI.
Setiap orang mempunyai gaya hidup dan gaya kerja yang berbeda, demikian
juga siswa mempunyai gaya belajar yang unik. Menurut Barbara Prashing (dalam
Dryden, 2000), “orang dari segala usia dapat belajar apa saja jika diberi kesempatan
untuk melakukannya dengan gaya unik mereka, dengan kekuatan pribadi mereka
sendiri” katanya dalam Diversity Is Our Strength: the learning revolution in action.
Selain gaya belajar siswa yang perlu diperhatikan dalam proses belajar mengajar, juga
perlu diperhatikan gaya berpikir mana yang disukai oleh siswa.
Anthony Gregorc-profesor ahli kurikulum dan instruksi di Universitas Connecticut
membagi gaya berpikir menjadi empat bagian yang berbeda: (1) sekuensial konkret, (2)
acak konkret, (3) acak abstrak, dan (4) sekuensial abstrak. Mereka menekankan bahwa tidak
ada gaya berpikir yang lebih superior; setiap gaya belajar itu unik. Setiap gaya menjadi
efektif dengan gayanya sendiri (dalam Dryden, 2000). Untuk mengetahu tipe-tipe gaya

7

berpikir seseorang, menurut Bobbi DePorter dapat di uraikan secara singkat sebagai
berikut.
Pemikir sekuensial konkret mendasarkan dirinya pada realitas, memproses
informasi dengan cara teratur, urut, dan linier. Bagi mereka, “realitas adalah apa dapat
mereka cerap melalui indra fisik yaitu penglihatan, persentuhan, pengucapan,
pencecapan, dan pembauan. Mereka memperhatikan dan mengingat berbagai detail
dengan mudah dan mengingat fakta-fakta, informasi spesifik, rumus-rumus, dan
berbagai peraturan dengan mudah. ‘Praktik’ adalah cara terbaik bagi orang semacam
ini.”
Pemikir acak konkret suka bereksperimen, seperti tipe sekuensial konkret, mereka
mendasarkan diri pada realitas, tetapi cenderung lebih melakukan pendekatan coba-coba. Oleh karena itu, mereka sering membuat lompatan intuitif yang diperlukan untuk
pemikiran kreatif. Mereka memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan alternatif
dan melakukan berbagai hal dengan cara mereka sendiri.
Pemikir acak abstrak mengatur informasi melalui refleksi, dan berkembang pesat
dalam lingkungan tak terstruktur dan berorientasi kepada manusia. DePorter
mengatakan, “Dunia ‘nyata’ bagi para pelajar acak abstrak adalah dunia perasaan dan
emosi. Pemikir acak abstrak menyerap berbagai gagasan, informasi, dan kesan, lalu
mengaturnya kembali melalui refleksi. Mereka dapat mengingat dengan baik jika
informasinya dibuat menurut selera mereka. Mereka merasa dibatasi ketika ditempatkan
pada lingkungan yang sangat terstruktur.”
Pemikir sekuensial abstrak suka sekali dengan dunia teori dan pikiran abstrak.
Mereka suka berpikir konseptual dan menganalisis informasi. Mereka berpotensi menjadi
filosof dan ilmuan peneliti yang hebat. Menurut DePorter, “Mereka mudah mengetahui
apa yang penting, seperti poin-poin utama dan detail yang signifikan. Proses berpikir

8

mereka logis, rasional, dan intelektual. Aktivitas favorit bagi orang bertipe sekuensial
adalah membaca. Biasanya mereka lebih senang bekerja sendiri daripada berkelompok.”
Empat kategori berpikir yang dikemukakan di atas dapat dikaitkan dengan tipe
FI-FD siswa dalam menyelesaikan soal-soal sistem persamaan linier dua variabel.
Bagaimana siswa tipe FI-FD dalam belajar matematika dikaitkan dengan empat gaya
berpikir yang dikemukakan DePorter? Oleh karena itu, empat gaya berpikir tersebut
dijadikan acuan dalam mengeksplorasi gaya kognitif siswa dalam penelitian ini.
Instrumen yang digunakan untuk melihat kecenderungan gaya berpikir siswa dalam
penelitian ini adalah instrumen yang dikembangkan oleh John LeTellier dari hasil adaptasi
model Gregorc.

3. Metode Penelitian
Masalah utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh gaya berpikir
siswa ditinjau dari tipe FD-FI terhadap prestasi belajarnya. Penelitian merupakan
penelitian eksploratif dalam bentuk ekspost-facto.
3.1. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 2 SMP Negeri 6 Makassar,
sedangkan sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah siswa dari tiga kelas yang
dipilih secara random berdasarkan banyaknya kelas II (9 kelas) yang ada di sekolah
tersebut. Siswa yang terpilih adalah siswa pada kelas IA, IB, dan ID sebanyak 124 orang.
3.2. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah: (1) variabel bebas: yaitu “gaya berpikir”
siswa berdasarkan konsep Gregorc (SK, AK, AA, SA), data dari variabel ini digunakan
kriteria dan instrumen yang dikembangkan oleh John LeTellier; (2) variabel terikat:
yaitu “prestasi belajar” siswa pada sistem persamaan linier dua variabel, yang

9

merupakan skor yang diperoleh siswa melalui tes prestasi belajar yang dikembangkan
peneliti; dan (3) variabel moderator: yaitu “gaya kognitif” berdasarkan konsep Witkin
(FI, FD), yang diperoleh dari instrumen Group Embedded Figure Test (GEFT), yang
telah diujicobakan oleh Cahyowati untuk konteks siswa di Indonesia.
3.3. Desain Penelitian
Desain penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Desain “Multiple Linear
Regresssion” dengan menggunakan variabel boneka. Desain ini dimaksudkan untuk
menganalisis pengaruh variabel bebas, terhadap variabel terikat, dengan menggunakan
variabel moderator, dan (2) Desain “Univariate Completely Randomized”. Desain ini
dimaksudkan untuk menganalisis perbedaan prestasi belajar matematika (Y)
berdasarkan kelompok siswa tipe field dependent (FD) dan tipe field independent (FI).
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
memberikan tes prestasi belajar persamaan linier dua variabel kepada responden untuk
memperoleh data prestasi belajar. Sedangkan data tentang gaya berpikir dan gaya
kognitif diperoleh melalui angket.
3.5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari pelaksanaan penelitian, dianalisis secara statistik yaitu
(1) statistik deskriptif untuk mendeskripsikan dan mengeksplorasi profil gaya berpikir
siswa berdasarkan tipe FD-FI, dan prestasi belajar siswa dalam SPL dua variabel, dan
(2) statistik inferensial untuk mengetahui dampak gaya berpikir siswa terhadap prestasi
belajar mereka dalam matematika.




10

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa kecenderungan gaya berpikir siswa
SMP yang mempunyai gaya kognitif field independent (FI) adalah acak abstrak (AA).
Berdasarkan 68 siswa yang mempunyai gaya kognitif FI, kecenderungan gaya berpikir
mereka adalah: (1) gaya berpikir sekuensial konkret (SK) sebanyak 15 orang (22,1%); (2)
gaya berpikir sekuensial abstrak (SA) sebanyak 18 orang (26,5%); (3) gaya berpikir acak
abstrak (AA) sebanyak 27 orang (39,7%); dan (4) gaya berpikir acak konkret (AK) sebanyak
8 orang (11,7%).
Kecenderungan gaya berpikir siswa SMP yang mempunyai gaya kognitif field
dependent (FD) adalah sekuensial konkret (SK). Berdasarkan 56 siswa yang mempunyai
gaya kognitif FD, kecenderungan gaya berpikir mereka adalah: (1) gaya berpikir sekuensial
konkret (SK) sebanyak 20 orang (35,7%); (2) gaya berpikir sekuensial abstrak (SA)
sebanyak 12 orang (21,4%); (3) gaya berpikir acak abstrak (AA) sebanyak 18 orang
(32,1%); dan (4) gaya berpikir acak konkret (AK) sebanyak 6 orang (10,7%).
Rata-rata prestasi belajar siswa pada materi persamaan linier dua variabel
masing-masing 62,94 untuk siswa FI dan 57,41 untuk siswa FD. Selanjutnya, untuk
siswa gaya kognitif FI: (1) 58,8% responden mempunyai skor di sekitar rata-rata; (2)
sebanyak 36,7% di atas rata-rata, dan (3) sisanya 4,5% di bawah rata-rata. Untuk siswa
gaya kognitif FD: (1) 51,8% mempunyai skor di sekitar rata-rata; (2) sebanyak 25,0% di
atas rata-rata, dan (3) sisanya 23,2% di bawah rata-rata.
Hasil yang diperoleh di atas, menunjukkan bahwa siswa SMP yang dijadikan
responden dalam penelitian ini, prestasi belajarnya dalam menyelesaikan soal persamaan
linier dua variabel masih berada dalam kategori sedang. Namun, ada kecenderungan bahwa
siswa yang mempunyai gaya kognitif FI lebih tinggi prestasi belajarnya dibandingkan
siswa yang mempunyai gaya kognitf FD.

11

Analisis inferensial menunjukkan bahwa: (1) gaya berpikir siswa tipe FI
mempunyai pengaruh yang signifikan pada taraf kepercayaan 95% terhadap prestasi
belajar dalam matematika. Berdasarkan hasil analisis variansi diperoleh nilai F = 2,65
dan p = 0,041, R2
= 14,4% dan s = 11,78 dengan persamaan regresi terhadap prestasi
belajar (PRES) adalah PRES = -497 + 4,65SK + 4,72SA + 4,45AA + 4,93AK yang
menunjukkan bahwa gaya berpikir siswa tipe FI memberikan sumbangan positif
terhadap prestasi belajar; (2) gaya berpikir siswa tipe FD mempunyai pengaruh yang
signifikan pada taraf kepercayaan 95% terhadap prestasi belajar dalam matematika.
Berdasarkan hasil analisis variansi diperoleh nilai F = 4,56 dan p = 0,003, R2
= 26,3%
dan s = 13,62 dengan persamaan regresi terhadap prestasi belajar (PRES) adalah PRES
= 402 – 2,68SK – 2,89SA – 3,16AA – 2,78AK yang menunjukkan bahwa gaya berpikir
siswa tipe FD memberikan sumbangan negatif terhadap prestasi belajar; dan (3) Prestasi
belajar matematika siswa berdasarkan gaya kognitif (dengan mengabaikan gaya
berpikir), diperoleh hasil analsis variansi F = 4,97 dengan nilai p = 0,028 hal ini
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95% antara
prestasi belajar siswa tipe FI dengan prestasi belajar siswa tipe FD.
Hasil penelitian yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa gaya berpikir siswa
SMP Negeri 6 Makassar untuk siswa yang bertipe FI lebih banyak berpikir dalam
bentuk acak abstrak (AA). Sedangkan untuk siswa yang bertipe FD lebih banyak
berpikir dalam bentuk sekuensial konkret (SK). Dengan demikian, berdasarkan kajian
teori dapat dikemukakan bahwa siswa SMP Negeri 6 Makassar dalam belajar matematika
diperlukan suatu pendekatan untuk mengatur informasi kepada siswa melalui refleksi
dunia nyata. Karena “dunia nyata” bagi para pelajar acak abstrak adalah dunia perasaan
dan emosi. Pemikir acak abstrak menyerap berbagai gagasan, informasi, dan kesan, lalu
mengaturnya kembali melalui refleksi. Mereka dapat mengingat dengan baik jika

12

informasinya dibuat menurut selera mereka. Mereka merasa dibatasi ketika ditempatkan
pada lingkungan yang sangat terstruktur.
Selain itu, diperlukan pendekatan pembelajaran matematika yang dapat
mengakomodasi siswa dengan gaya berpikir sekuensial konkret, yaitu siswa yang
mendasarkan dirinya pada realitas, memproses informasi dengan cara teratur, urut, dan
linier. Bagi mereka, “realitas” adalah sesuatu yang dapat diserap melalui indra fisik
yaitu penglihatan, persentuhan, pengucapan, pencecapan, dan pembauan. Mereka
memperhatikan dan mengingat berbagai detail dengan mudah dan mengingat fakta-fakta, informasi spesifik, rumus-rumus, dan berbagai peraturan dengan mudah. ‘Praktik’
adalah cara terbaik bagi orang semacam ini.”
Ditinjau dari prestasi belajar siswa dalam sistem persamaan linier dua variabel,
terdapat beberapa kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal-soal. Siswa
pada umumnya kesulitan menerjemahkan soal yang berbentuk cerita ke dalam bentuk
persamaan linier. Demikian juga, siswa belum mampu menerjemahkan himpunan
penyelesaian dari sistem persamaan linier yang disajikan dalam grafik. Namun, untuk
menyelesaikan sistem persamaan linier dua variabel dengan cara eliminasi dan subtitusi
pada umumnya siswa tidak mengalami kesulitan.
Hasil analisis inferensial menunjukkan bahwa gaya berpikir siswa berpengaruh
terhadap prestasi belajar matematika. Walaupun sumbangan yang diberikan tidak terlalu
besar, tetapi guru harus menyadari bahwa siswa SMP yang bergaya kognitif tipe FD
mempunyai kecenderungan gaya berpikir mereka berpengaruh negatif terhadap prestasi
belajarnya dalam matematika. Sedangkan untuk siswa FI gaya berpikirnya berpengaruh
positif terhadap prestasi belajarnya.



13

5. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Profil gaya berpikir yang dimiliki siswa kelas 2 SMP Negeri 6 Makassar, adalah:
(1) gaya berpikir siswa tipe FD, pada umumnya adalah gaya berpikir sekuensial konkret,
(2) gaya berpikir siswa yang mempunyai tipe FI, pada umumnya adalah gaya berpikir
acak abstrak, (3) gaya berpikir siswa tipe FD mempunyai pengaruh negatif terhadap
prestasi belajar SPL dua variabel, sedangkan gaya berpikir siswa tipe FI mempunyai
pengaruh positif, dan (4) ada perbedaan prestasi belajar antara siswa FD dengan siswa
FI, yaitu siswa FI prestasi belajarnya lebih baik dibandingkan siswa FD.
5.2 Saran
Sebagai implikasi dari simpulan di atas disarankan agar: (1) pembelajaran SPL
dua variabel, guru membagi kelompok yang anggotanya terdiri dari siswa FI dan FD,
dan memberikan pembelajaran yang banyak berkaitan dengan dunia nyata siswa.
Pembelajaran hendaknya dimulai dari hal yang realistik bagi siswa ke hal yang abstrak,
karena cara berpikir siswa kelas 2 SMP masih didominasi sekuensial konkret dan acak
abstrak; (2) guru memberikan latihan-latihan soal yang berkaitan dengan dunia nyata
siswa dalam bentuk cerita dan memberikan soal-soal yang berkaitan dengan grafik,
karena siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal yang berkaitan dengan dunia nyata
(soal cerita) dan membaca grafik; (3) guru memberikan tes gaya berpikir dan gaya
kognitif siswa pada setiap kelas yang dihadapi. Hal ini dimaksudkan agar guru dapat
memilih pendekatan yang sesuai dalam mengajarkan matematika untuk tipe siswa yang
dominan dalam suatu kelas. Hal ini dianggap penting berdasarkan hasil penelitian ini,
karena gaya berpikir siswa tipe FI dan FD mempunyai pengaruh yang berlawanan
dalam prestasi belajar matematika.


14

Pustaka Acuan
Cahyowati, Ety, Tejo, Dwi. 1990. Field Dependent-Field Independent dalam Kaitannya
dengan Hasil Belajar Matematika Kelas IIIA, SMA Negeri di Kotamadya
Malang. Tesis. Tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang.

Dahar, R. Wilis. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. 2003. Kurikulum Matematika 2004 Mata Pelajaran Matematika SMP.
Jakarta: Depdiknas.

DePorter, Boby & Mike Hernacky. 2002. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.

Dryden, Gordon., Jeannette. 2000. Revolusi Cara Belajar. Bandung: Kaifa.

Gregore, Anthony. An Adult’s Guide to Stlye. Maynard, Mass: Gabriel Systems.

Hudoyo, Herman. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya
Di Depan Kelas. Surabaya : Usaha Nasional.

Hudoyo, Herman, 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.

Ismanu A. 1988. Hubungan antara Gaya Kognitif dan Hasil Belajar Matematika Siswa
Kelas V SD Kecamatan Abepura dan Sekitarnya di Daerah Tingkat II Kabu-paten Jayapura. Tesis. Tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP
Malang.

Labulan, PM. 1995. Hubungan Antara Berpikir Logis dan Gaya Kognitif dengan
Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Aljabar Siswa Kelas IIA2 SMA
Negeri di Kotamadya Samarinda. Tesis. Tidak diterbitkan. Malang: Program
Pascasarjana IKIP Malang.

Mahmud, Dimyati M. 1990. Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Terapan. Edisi 1,
Fakultas Ilmu Pendidikan: IKIP Yogyakarta.

Nasution, Hakim, Andi,. 1992. Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor: Litera Antar Nusa.

Ratumanan, T.G. 2001. Pengaruh Model Pembelajaran dan Gaya Kognitif terhadap
Hasil Belajar Matematika Siswa SMP Negeri 1 dan SMP negeri 4 Ambon.
Proposal Disertasi. Tidak diterbitkan. Surabaya: PPS Unesa.




15

Soedjadi, R. 1992. Pokok-pokok Pikiran Tentang Orientasi Masa Depan Sekolah di
Indonesia. Surabaya: Media Pendidikan Matematika Nasional IKIP Surabaya.

Witkin, H.A., C.A. Moore., D.R. Goodenough & P.W.Cox. 1977. Field Dependent and
Field Independent Cognitive Style an Their Educational Implications. Review
of Educational Research. Winter, Vol. 47, No. 1.1-64.


16

MAKALAH BAHASA INDONESIA

Pengaruh Pemberian Evaluasi Ulangan Harian terhadap
Peningkatan Motivasi Belajar Bahasa Indonesia pada Siswa
Tingkat SMP Kabupaten Maros


Muhammad Asdam*

Abstrak: Pengaruh pemberian evaluasi ulangan harian terhadap peningkatan
motivasi belajar bahasa Indonesia pada tingkat SMP merupakan hal yang penting
dikaji. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh pemberian ulangan
harian terhadap peningkatan motivasi belajar bahasa Indonesia pada siswa tingkat
SMP di Kabupaten Maros. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
pemberian evaluasi ulangan harian berpengaruh positif terhadap peningkatan
motivasi belajar bahasa Indonesia siswa tingkat SMP di Kabupaten Maros. Hal ini
dapat tercermin pada prestasi belajar bahasa Indonesia pada siswa yang selalu
diberikan ulangan harian. Peningkatan prestasi yang dicapai ditopang motivasi
belajar yang memadai. Oleh karena itu, guru diharapkan membiasakan memberikan
evaluasi ulangan harian, mengoreksi secara tepat, dan mengembalikan kepada
peserta didik tepat pada waktunya.

Kata kunci: evaluasi, ulangan harian, dan motivasi belajar


1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pesatnya arus globalisasi saat ini menyebabkan perubahan pada berbagai
aspek kehidupan yang senantiasa menuntut kualitas sumber daya manusia yang
tinggi. Mengantisipasi hal itu, pemerintah selalu berupaya meningkatkan kualitas
pendidikan baik pada tingkat dasar/menengah maupun tingkat perguruan tinggi.
Mengetahui berkualitas tidaknya suatu pembelajaran tentu harus melalui tahap
evaluasi.

1
Evaluasi pembelajaran bahasa Indonesia pada tingkat SMP dapat berlangsung
pada setiap pertemuan, setiap selesai pokok bahasan, dan bahkan beberapa pokok
bahasan yang telah disajikan. Pemberian evaluasi terhadap siswa tentu diharapkan
dapat bermakna positif terhadap perkembangan pendidikan bagi peserta didik.
Dihindari menjadi beban yang tidak ber\arti terhadap siswa. Sebagai contoh, seorang
guru sangat rajin memberikan evaluasi ulangan harian, namun kenyataannya tidak
pernah diperiksa dengan baik. Begitu pula tidak ada usaha seorang guru untuk
mengembalikan hasil pekerjaan siswa tersebut. Hal seperti ini merupakan perilaku
guru yang selalu hanya mencari jalan pintas dalam pembelajaran. Padahal hasil
evaluasi yang diperoleh siswa merupakan umpan balik sekaligus menjadi acuan
terhadap siswa sebagai pembelajaran.
Peningkatan prestasi belajar siswa dipengaruhi beberapa faktor. Salah satu di
antaranya adalah faktor motivasi yang harus dimiliki oleh siswa merupakan hal yang
sangat penting untuk digali dan dikembangkan oleh guru. Sebelum guru menyajikan
materi pelajaran di kelas, maka terlebih dahulu guru harus membangun motivasi
siswa. Terbentuknya motivasi siswa, sangat memudahkan memahami materi
pelajaran yang telah diperoleh dari gurunya. Terciptanya pembelajaran seperti ini
merupakan dambaan setiap guru sehingga pada akhirnya prestasi siswa dapat lebih
meningkat.




2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan adalah apakah
pemberian evaluasi ulangan harian dapat berpengaruh terhadap peningkatan motivasi
belajar mata pelajaran bahasa Indonesia pada siswa tingkat SMP di Kabupaten
Maros?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu dapat mendeskripsikan pengaruh pemberian
evaluasi ulangan harian terhadap peningkatan motivasi belajar mata pelajaran bahasa
Indonesia pada siswa tingkat SMP di Kabupaten Maros.

2. Kajian Literatur
2.1 Pengertian Tes
Setiap suatu kegiatan yang telah berlangsung pada akhirnya kita akan
mengetahui hasilnya. Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, perlu pula
diadakan evaluasi. Hal ini penting karena dalam evaluasi kita dapat mengetahui
apakah tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat tercapai atau tidak. Melalui
evaluasi dapat diketahui sejauh mana tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang
telah diajarkan, sehingga kita dapat mengambil suatu kesimpulan tentang hal tersebut,
serta dapat merencanakan apa yang seharusnya dilakukan pada tahap berikutnya.
Sehubungan dengan kenyataan di atas Nasrun Harapan, dkk (dalam Ahmadi
dan Supriono (1989: hal. 188)) mengatakan bahwa: “Tes adalah kegiatan yang
dilakukan berkenaan dengan situasi aspek lain sehingga suatu gambaran yang

3
menyeluruh yang dapat dipandang dari berbagai segi dan dengan situasi yang
lampau”.
Selanjutnya pendapat lain dikemukakan bahwa:

“Tes adalah suatu proses yang sistematis dan berusaha untuk mengetahui
tingkat pencapaian siswa atas tujuan pengajar yang telah ditetapkan dan
sekaligus memberikan gambaran tentang efektifitas pengajaran oleh guru
yang bersangkutan” (Nurkancana dan Sumartana, 1986: h. 25)

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tes merupakan suatu kegiatan atau
proses penentuan nilai terhadap proses belajar mengajar. Tes dapat dijadikan sebagai
alat ukur untuk memberikan petunjuk sampai seberapa jauh pengajaran yang telah
dilakukan telah tercapai.
2.2 Tes Ulang Harian
2.2.1 Pengertian Tes Ulang Harian
Dalam kegiatan belajar mengajar, belajar yang ditunjukkan oleh perubahan
tingkah laku diketahui dengan menggunakan alat ukur berupa tes. Pemberian tes
merupakan rangkaian kegiatan belajar mengajar. Pengukuran sebagai bagian integral
dalam pengajaran harus selalu ada sejak pengajaran dimulai sampai selesai. Sejalan
dengan uraian tersebut Nurkancana dan Sumartana (1986: h. 25) mengemukakan:
“Tes adalah suatu cara untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu
tugas serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh siswa sehingga
menghasilkan suatu nilai tentang tingkah laku atau prestasi siswa tersebut
yang dapat dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh siswa lainnya”
(Arikunto, 1993:29).

Pada dasarnya pengukuran hasil belajar berfungsi untuk melakukan seleksi
terhadap kecakapan, pengelompokan status individu dan prediksi atas perkembangan

4
anak. Sesuai dengan prinsip pengukuran maka sarana atau alat yang mudah
digunakan serta sudah jelas penafsirannya adalah tes.
Menurut Webster Collegiate dalam Arikunto mengatakan bahwa:
“Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan
untuk mengukur pengetahuan, intelegensi, kemampuan atau bakat dan
keterampilan yang dimiliki oleh individu atau kelompok” (Arikunlto,
1993:29).

Hal yang sama dikemukakan pula oleh Rusli bahwa: “Tes adalah seperangkat
butir pertanyaan yang dibuat untuk diberikan kepada siswa dengan syarat tertentu dan
prosedur yang sistematis untuk mengobservasi tingkah laku”. (Rusli, 1989: h. 4).
Tes ulangan harian dalam penelitian ini merupakan tes yang dilaksanakan
setiap selesai dua unit/bab materi pelajaran. Tes ulangan harian diberikan untuk
memantau kemajuan belajar siswa selama proses belajar mengajar berlangsung dan
untuk memberikan balikan bagi penyempurnaan proses belajar mengajar serta untuk
mengetahui kelemahan-kelemahan yang memerlukan perbaikan sehingga hasil belajar
mengajar menjadi lebih baik.
Tes ulangan harian pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memonitor
kemajuan belajar siswa selama pembelajaran berlangsung dalam dua pokok bahasan.
Bila masih ada materi pelajaran yang belum dikuasai oleh siswa maka guru dapat
mengetahui di mana letaknya kemudian mengambil langkah-langkah untuk perbaikan
materi pelajaran yang disajikan. Dalam hal ini pemberian tes ditekankan pada
pengukuran penguasaan bahan yang direncanakan.



5
2.2.2 Tujuan Tes Ulangan Harian
Setiap kegiatan yang dilaksanakan tentunya ada tujuan yang ingin dicapai,
begitu pula halnya dalam pelaksanaan tes ulangan harian. Adapun tujuan tes menurut
Arikunto adalah sebagai berikut: (1) untuk memonitor kemajuan siswa selama
pembelajaran berlangsung dalam suatu program, (2) untuk mendapatkan umpan balik
bagi siswa atau guru-guru guna perbaikan proses belajar mengajar, (3) untuk
menentukan apakah tujuan pengajaran yang telah ditetapkan telah tercapai oleh siswa,
(4) untuk mengetahui guna dan daya guna kesempatan belajar yang diberikan dan
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, (5) untuk mengetahui manfaat dan
sumbangan hasil belajar yang telah ditetapkan, dan (6) sebagai umpan balik guru
untuk perbaikan proses belajar mengajar berikutnya (Arikunto, 1993: h. 10).
2.2.3 Jenis-jenis Tes
Alat ukur hasil belajar memegang peranan penting dalam proses belajar
mengajar. Ia dapat memberikan informasi dalam pengambilan keputusan
pembelajaran, mempengaruhi siswa secara langsung dan memberikan batasan
sehubungan dengan efektivitas pengajaran. Oleh sebab itu, alat ukur harus disusun
sedemikian rupa sehingga mampu memberikan informasi yang akurat. Selanjutnya,
Arikunto (1993, h. 10) mengemukakan agar alat ukur pendidikan dapat melakukan
fungsinya secara efektif maka harus memenuhi syarat yaitu: valid, reliable, objektif,
praktis dan ekonomis.
Dalam mengevaluasi hasil belajar siswa, pada umumnya guru menggunakan
tes sebagai alat ukurnya. Pada pokoknya tes dibagi atas dua golongan besar. Pertama,

6
tes yang mengukur penampilan yang maksimal (maximum performance). Tes
inteligensi, tes kemampuan dan tes kecakapan mengukur “maximum performance”
sebab peserta tes diharuskan mendapatkan skor maksimum. Jadi, apa yang betul dan
salah. Kedua, tes “typical performance” mengukur kebiasaan-kebiasaan peserta tes,
misalnya tes sikap dan tes motivasi. Pada penelitian ini hanya digunakan tes ulangan
harian sebagai “maximum performance” sedangkan motivasi belajar dilihat dari hasil
yang diperoleh dari tes tersebut.
Arikunto (1993: h. 48) menyatakan bahwa ditinjau dari penyusunannya tes
dibedakan atas tes buatan guru dan tes standar. Menurut tujuannya tes dibedakan atas
tes mental, tes keberhasilan dan tes diagnostik.
Schwart dan Tiedemen dalam Manrihu M. Tayeb (1978) menyatakan bahwa:
“Tes buatan guru tinggi nilainya karena dapat menilai kemajuan siswa dalam
hubungannya dengan kegiatan-kegiatan khusus, meningkatkan motivasi para
siswa, memungkinkan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan siswa,
menyediakan informasi untuk keperluan laporan dan memungkinkan umpan
balik yang cepat” (Manribu M. Tayeb, 1978:25)

2.2.4 Manfaat Tes Ulangan Harian
Tes ulangan harian mempunyai manfaat baik bagi siswa, guru maupun
program itu sendiri.
a. Manfaat bagi siswa adalah: (1) untuk mengetahui apakah siswa sudah
menguasai bahan program secara menyeluruh, (2) Merupakan penguatan
(reinforcement) bagi siswa, dengan mengetahui bahwa tes yang dikerjakan
sudah menghasilkan skor yang tinggi sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini
merupakan suatu tanda bahwa apa yang sudah dimiliki merupakan

7
pengetahuan yang sudah benar. Dengan demikian, pengetahuan merupakan
tanda keberhasilan dan akan memperbesar motivasi siswa untuk belajar, (3)
usaha perbaikan, dengan umpan balik (feed back) yang diperoleh setelah
melakukan tes siswa mengetahui kelemahan-kelemahannya. Bahkan dengan
teliti siswa mengetahui bab demi bab dari materi pelajaran yang belum
dikuasainya, sehingga akan ada motivasi untuk meningkatkan penguasaan,
dan 4) sebagai diagnosa, bahwa pelajaran yang sedang dipelajari oleh siswa
merupakan serangkaian pengetahuan, keterampilan atau konsep. Dengan
mengetahui hasil tes formatif, siswa dengan jelas dapat mengetahui bagian
mana dari pokok bahasan pelajaran yang masih dirasakan sulit.
b. Manfaat bagi guru adalah: (1) mengetahui sampai sejauh mana bahan yang
diajarkan sudah dapat diterima oleh siswa. Hal ini akan menentukan pula
apakah guru itu harus mengganti cara (strategi) mengajar atau tetap
menggunakan strategi yang lama, (2) mengetahui bagian-bagian mana dari
bahan pelajaran yang belum menjadi milik siswa. Apabila bagian yang belum
dikuasai kebetulan merupakan bahan prasyarat bagi pelajaran yang lain maka
bagian itu harus diterapkan lagi atau memerlukan cara atau media lain untuk
memperjelas, dan (3) dapat meramalkan sukses dan tidaknya seluruh program
yang akan diberikan.
c. Manfaat bagi program
Setelah diadakan tes formatif maka diperoleh hasil, dari hasil tersebut dapat
diketahui: 1) apakah program yang telah diberikan merupakan program yang

8
tepat dalam arti sesuai dengan kecakapan anak, (2) apakah program tersebut
membutuhkan pengetahuan-pengetahuan prasyarat yang belum
diperhitungkan, (3) apakah diperlukan alat, sarana dan prasarana untuk
mempertinggi hasil yang akan dicapai, dan (4) apakah metode, pendekatan
dan alat evaluasi yang digunakan sudah tepat.
2.3 Motivasi Belajar
Motivasi adalah dorongan dari dalam yang digambarkan sebagai harapan,
keinginan, dan sebagainya yang bersifat menggiatkan atau menggerakkan individu.
Motivasi bukanlah tingkah laku tetapi kondisi internal yang kompleks yang tidak
dapat diamati secara langsung, tetapi mempengaruhi tingkah laku. Berikut ini akan
diberikan beberapa pendapat para ahli tentang motivasi.
Mc. Donald (dalam Sardiman, 1996: h. 72 ) mengatakan bahwa:
“Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan
munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan”.

Dari pengertian di atas, maka pada dasarnya motivasi itu sangat kompleks
karena dapat menyebabkan terjadinya suatu perubahan energi yang ada dalam diri
manusia, yang nantinya akan bergayut dengan persoalan kejiwaan, perasaan, dan
emosi. Motivasi selalu terkait kebutuhan, respons individu terhadap kebutuhan akan
menghasilkan suatu tingkah laku sebagai upaya untuk memenuhinya.
Pemahaman akan arti motivasi belajar dapat dilakukan dengan mengkaji
secara terpisah antara pengertian motivasi dan belajar. Menurut Mc. Donald dalam
Sardiman (1986: h. 73), “Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang

9
yang ditandai dengan munculnya “Feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap
tujuan”.
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Abdullah “Motivasi adalah suatu
kecenderungan di dalam diri individu untuk bertindak mencapai tujuan yang kongkrit
guna memenuhi kebutuhannya”.
Menurut Mappa (1977, h. 23), “Motivasi berasal dari
kata lain yaitu “Movere” yang artinya menggerakkan atau sesuatu yang mendorong
seseorang melakukan sesuatu”. Pengertian tentang motivasi juga dikemukakan oleh
Lester D. Crow dan Alice Crow (dalam Ahad Daund): “Motivasi adalah sesuatu yang
mengatur tingkah laku seseorang, baik yang berasal dari dalam diri sendiri maupun
yang disebabkan oleh rangsangan dari luar, sebagai usaha untuk mendapatkan apa
yang diinginkan”.
Motivasi bukanlah hal yang dapat diamati, tetapi adalah hal yang dapat
disimpulkan adanya karena sesuatu yang dapat kita saksikan. Motivasi adalah
keadaan dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu kegiatan
baik yang berasal dari dalam diri maupun yang disebabkan oleh rangsangan dari luar
sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Konsepsi mengenai belajar telah banyak dikemukakan oleh ahli psikologis. Di
antaranya adalah Cronbach dan Harold Spears dalam Suryabrata menyatakan bahwa:
“Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam
mengalami itu siswa mempergunakan panca inderanya sehingga membawa
suatu perubahan yang menghasilkan suatu kecakapan baru, yang disertai
dengan usaha yang disengaja” (Suryabrata, 1990:247).



10
Seiring dengan pernyataan tersebut W.S. Winkel mengemukakan bahwa:
“Belajar dirumuskan sebagai suatu aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan
sikap”(Winkel, 1983:36).

Belajar pada dasarnya adalah suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar
untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. Hasil aktivitas
belajar menimbulkan perubahan dalam diri individu. Dengan demikian, belajar
dikatakan berhasil bila terjadi perubahan dalam diri individu. Sebaliknya, bila tidak
terjadi perubahan dalam diri individu maka belajar dikatakan tidak berhasil.
Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli, disimpulkan
motivasi belajar adalah keseluruhan atau sesuatu yang mendorong siswa untuk
melakukan aktivitas belajar, baik yang berasal dari dalam diri maupun yang
disebabkan oleh rangsangan dari luar sehingga dapat mencapai tujuan yang
diinginkan.
Namun motivasi itu tidak mandiri timbul dari dalam diri tiap individu tanpa
adanya campur tangan faktor luar dalam diri individu, melainkan sifat motivasi itu
berdiri sendiri. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan motivasi dalam kaitannya
dengan bahasa Indonesia adalah kekuatan yang timbul, baik dalam diri siswa maupun
di luar dirinya, yang mendorong dirinya sehingga dengan kemauan dan kesadarannya
sendiri mau belajar bahasa Indonesia atau mau melihat dirinya dalam proses belajar
bahasa Indonesia.
Motivasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah motivasi yang timbul dari
dalam diri siswa yang dalam bahasa psikologis disebut dengan motivasi intrinsik dan

11
motivasi yang timbul karena faktor dari luar dirinya yang disebut dengan motivasi
ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif dan berfungsinya
tidak perlu dirangsang dari luar, motivasi intrinsik juga dikatakan sebagai bentuk
motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu
dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajarnya.
Motivasi intrinsik ini meliputi hasrat untuk belajar, senang belajar, dan tidak
cepat putus asa. Jadi, motivasi itu muncul dari kesadaran diri sendiri dengan tujuan
secara esensial, bukan sekedar simbol-simbol dan seremonial.
Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya
karena adanya rangsangan dari luar dirinya yang meliputi: (1) pemberian nilai, (2)
pemberian hadiah, (3) persaingan atau kompetisi, (4) pemberian pujian, dan (5)
pemberian hukuman. Lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan berikut.
Pemberian nilai atau penilaian dalam hal ini adalah sebagai simbol-simbol
dari kegiatan belajarnya. Anak didik akan merasa puas apabila mengetahui hasil
belajarnya. Secara psikologis hal ini akan menimbulkan motivasinya untuk belajar.
Apabila ia memperoleh nilai yang kurang baik, kekurangan ini akan mendorong
untuk belajar lebih giat lagi. Begitu sebaliknya, apabila si anak memperoleh nilai
yang bagus atau baik, hal ini juga membantu anak didik, artinya si anak mengulangi
perbuatan itu, mendapatkan kepuasan (nilai baik). Atau sekurang-kurangnya si anak
akan berusaha mempertahankan apa yang telah diraihnya, agar tidak mengalami
penurunan.

12
Dengan nilai-nilai yang diperoleh anak mengetahui kekuatan dan
kelemahannya, sehingga dapat memuaskan perhatiannya kepada hal-hal yang lemah
untuk meningkatkan prestasinya, jadi pemberian nilai ini haruslah obyektif sehingga
dapat memberi petunjuk atau sinyal kepada siswa.
Pengetahuan akan kemajuan atau nilai yang telah dicapai pada umumnya
mempunyai pengaruh positif untuk usaha selanjutnya, karena anak sudah mempunyai
standar kemampuan pelajarannya, yaitu berupa nilai yang telah dicapai sebelumnya.
Pemberian hadiah dapat menumbuhkan motivasi kepada si anak untuk semakin
giat belajar. Hal ini berimplikasi positif, karena si anak tersebut semakin memotivasi
dirinya untuk mempertahankan apa yang telah dicapainya atau menggapai impiannya
yang belum sempat tercapai pada saat ini. Karakter setiap anak itu berbeda, oleh karena
itu kadangkala seorang anak semakin memacu atau terpacu semangat belajarnya karena
mengharapkan mendapat hadiah yang telah dijanjikan kepadanya.
Anak didik yang aktif selalu mempunyai keinginan untuk menjadi yang “terbaik”
di antara sesama temannya. Rasa ini adalah benih kompetensi yang positif dalam proses
belajar yang akan semakin bertambah apabila didesain sedemikian rupa oleh guru dalam
proses belajar mengajarnya, misalnya dengan membentuk kelompok belajar di antara
mereka, sehingga di antara kelompok-kelompok tersebut saling bersaing untuk menjadi
yang terbaik dalam perolehan nilai hasil belajar kelompoknya. Namun, persaingan dapat
pula dilakukan secara perseorangan. Dengan demikian, persaingan atau kompetisi
dalam belajar adalah juga merupakan salah satu aspek yang dapat memotivasi siswa
untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

13
Keinginan setiap manusia pada umumnya adalah adanya penghargaan atas
usaha atau hasil yang telah diperolehnya. Hal yang sama selaku juga dalam proses
belajar siswa. Apabila ada siswa yang sukses, yang berhasil menyelesaikan tugasnya
dengan baik, maka siswa tersebut perlu diberi pujian baik oleh gurunya maupun oleh
orang tuanya, agar si anak semakin bergairah untuk belajar. Pujian ini adalah bentuk
reinforcement atau bantuan yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik.
Oleh karena itu, supaya pujian itu merupakan motivasi, maka penerimaannya harus
tepat. Karena dengan pujian yang tepat dalam menumbuhkan suasana yang
menyenangkan dan mempertinggi gairah untuk belajar serta sekaligus akan
membangkitkan kepercayaan diri.
Hukuman walaupun bersifat negatif, tetapi dapat memotivasi siswa untuk
melakukan aktivitas belajar. Sebahagian siswa mau belajar atau meningkatkan
prestasi belajarnya karena takut mendapat hukuman baik dari gurunya, maupun dari
orang tuanya. Karena hukuman sebagai reinforcement yang negatif, maka
pemberiannya harus tepat dan bijak, agar tujuan awal pemberian hadiah yaitu sebagai
pemicu belajar dapat tercapai.

3. Metode Penelitian
3.1 Jenis dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen yang berlokasi di SMPN
I Mandai Kabupaten Maros. Tempat ini dapat mewakili SMP lainnya di Kabupaten

14
Maros. Hal ini disebabkan letaknya sangat strategis, merupakan sekolah unggulan,
dan bertipe A.
3.2 Variabel dan Desain Penelitian
Penelitian terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas (pelaksanaan evaluasi
ulangan harian) dan variabel terikat (motivasi belajar bahasa Indonesia). Desain
penelitian yang digunakan adalah “Randomized Control Group Design” yang
digambarkan sebagai berikut:
Kelompok Treatment Observasi
E T O1
K - O2

Keterangan:
E = Kelompok eksperimen
K = Kelompok kontrol
T = Perlakuan
O1 = Observasi setelah diberikan perlakuan pada eksperimen
O2 = Observasi pada kelompok kontrol

3.3 Hipotesis Penelitian
Pemberian evaluasi ulangan harian dapat mempengaruhi peningkatan motivasi
belajar Indonesia siswa tingkat SMP di Kabupaten Maros.
3.4 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini yaitu seluruh sekolah SMP di Kabupaten Maros.
Setelah dipertimbangkan beberapa hal, maka ditetapkan SMPN I Mandai Kabupaten
Maros ditetapkan sebagai sampel dalam penelitian ini, yaitu tepatnya di kelas IIA
yang jumlah siswanya 45 orang (kelas eksperimen) dan kelas IIB yang berjumlah 45
orang (kelas kontrol).


15
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan yaitu memberikan evaluasi ulangan harian pada kelas
IIA sebagai kelas eksperimen yaitu mengerjakan beberapa nomor soal pilihan ganda.
Kelas IIB sebagai kelas kontrol tidak diberikan evaluasi ulangan harian. Setelah itu
diperhatikan nilai semester kedua kelas tersebut. Di samping itu, akan diberikan
beberapa angket dan pengamatan khusus untuk mengetahui motivasi siswa.
3.6 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis statistik deskriptif dan
analisis statistik inferensial. Analisis inferensial ini bertujuan untuk menguji
kebenaran dugaan. Uji yang digunakan adalah uji perbedaan dan rata-rata dengan
hipotesis sepihak, yaitu:
Ho = M1 ≤ M2
Hi = M1 ≥ M2
Statistik yang digunakan adalah uji t dengan derajat kebenaran n1 + n2 – 2
dengan taraf kepercayaan α = 0,05 atau α = 95%.
Rumus:
thit =
s
1
21
n
1 -
n
1
y - y
s2 =
2 - n n
1)s - (n 1)s - (n
21
2
21
2
11
+
+
Keterangan:
y1 = Rata-rata nilai kelompok eksperimen
y2 = Rata-rata nilai kelompok kontrol
s2 = Varian gabungan kedua kelompok
n1 = Jumlah sampel eksperimen

16
n2 = Jumlah sampel kontrol
s1
2
= varians sampel kelompok eksperimen
s2
2
= varians sampel kelompok kontrol


4. Hasil Penelitian dan Bahasan
4.1 Penyajian Hasil Analisis Data
4.1.1 Uji Normalitas
Dalam uraian normalitas ini, ada dua data yang diuji normalitas data prestasi
belajar siswa kelompok kontrol dan data prestasi belajar siswa kelompok eksperimen.
1. Uji normalitas data prestasi belajar siswa kelompok kontrol

Tabel 4.1 Pengujian normalitas data kelompok kontrol

Interval
Kelas
Batas
Kelas (X)
Σ untuk
Batas Kelas
Luas Tiap
Kelas Interval Ei Oi
6,00-6,50 5,995 -2,03 0,0482 2,17 3
6,51-7,01 6,505 -1,48 0,1068 4,81 8
7,02-7,52 7,015 -0,93 0,1795 8.08 8
7,53-8,03 7,525 -0,37 0,2157 9,71 5
8,04-8,54 8,035 0,18 0,1990 8,96 12
8,55-9,05 8,545 0,74 0,1311 5,90 4
9,06-9,56 9,055 1,27 0,0656 2,95 5
Sumber : Hasil analisis data, 2005.
X = 7,867S = 0,921
2
hX = ∑=
K
1 i i
2
ii
E
)E - (O
= ++++
9,71
9,71) - (5
8,08
8,08) - (8
4,18
4,18) - (8
2,17
2,17) - (3 2222


2,95
2,95) - (5
5,90
5,90) - (4
8,96
8,96) - (12 222
++
= 7,791
dk = 4
2
(4) 0,95X = 9,49


17
Oleh karena > , maka data tersebut berasal dari populasi
yang berdistribusi normal.
2
(4) 0,95X 2
hX
Dari hasil perhitungan, diperoleh angka-angka sebagai berikut: X =
7,867 dan s = 0,92. Dari hasil perhitungan juga diperoleh harga 2
X =
7,791 dan dari daftar distribusi frekuensi, banyaknya kelas K = 7,
dengan demikian derajat kebebasan dk = k – 3 = 4 dan derajat
kepercayaan α = 95% maka nilai = 9,49. Oleh karena >
maka jelas bahwa data prestasi belajar siswa berasal dari populasi
yang berdistribusi normal.
2
tX 2
tX 2
X,

2. Uji normalitas data prestasi belajar siswa kelompok eksperimen

Tabel 4.2 Pengujian normalitas data kelompok eksperimen

Interval
Kelas
Batas
Kelas (X)
Σ untuk
Batas Kelas
Luas Tiap
Kelas Interval Ei Oi
6,00-6,60 5,995 -3,16 0,0076 0,342 1
6,61-7,21 6,605 -2,39 0,0442 1,989 2
7,22-7,82 7,215 -1,62 0,1423 6,404 4
7,83-8,43 7,825 -0,86 0,2692 12,114 11
8,44-9,04 8,435 -0,09 0,2877 12,947 16
9,05-9,65 9,045 0,68 0,1747 7,862 8
9,66-10,26 9,655 1,45 0,0599 2,696 3
Sumber : Hasil analisis data, 2005.

X = 8,506 = 0,795
2
hX = ∑=
K
1 i i
2
ii
E
)E - (O

= ++++
12,114
12,114) - (11
6,404
6,404) - (4
1,989
1,989) - (2
0,342
0,342) - (1 2222


18

2,698
2,696) - (3
7,862
7,862) - (8
12,947
12,947) - (16 222
++
= 3,03
dk = 4
2
(4) 0,95X = 9,49

Oleh karena > , maka data tersebut berasal dari populasi
yang berdistribusi normal.
2
(4) 0,95X 2
hX
Dari hasil perhitungan, diperoleh angka-angka sebagai
berikut: X = 8,506 dan s = 0,795. Dari hasil perhitungan juga
diperoleh harga 2
X = 3,026 dan dari daftar distribusi frekuensi,
banyaknya kelas k = 7, dengan demikian derajat kebebasan
dk = k – 3 = 4 dan derajat kepercayaan α = 95% maka nilai
= 9,49. Oleh karena > , maka jelas bahwa data prestasi
belajar siswa berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
2
tX 2
tX 2
X

4.1.2 Uji Hipotesis
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk hipotesis dalam penelitian
ini digunakan uji perbedaan dua rata-rata dengan sepihak, yaitu uji pihak kanan.
Pasangan yang akan diuji adalah rata-rata prestasi belajar siswa kelompok kontrol dan
rata-rata prestasi belajar siswa kelompok eksperimen. Sebagaimana perhitungan
berikut:



19
H0 : μ1 ≤ H2
H1 : μ1 > H2


1. Kelompok Ekperimen : n1 = 45
S1
2
= 0,632
X1 = 8,506
2. Kelompok Kontrol : n2 = 45
S2
2
= 0,849
X2 = 7,867
3. S2
total

=
2 - n n
1).S - (n 1).S - (n
21
2
2
2
11
+
+
Dengan memasukkan nilai-nilai di atas ke dalam rumus, diperoleh:
S2
total = 0,741
Stotal

= 0,861
4. thit =
21
total
21
n
1
n
1s
X - X
+

Dengan memasukkan nilai-nilai di atas ke dalam rumus, diperoleh:
thitung = 3,51
dk = n1 + n2 – 2 = 88, dengan α = 0,05, maka
5. ttabel = 1,66
Oleh karena thitung > ttabel, maka hipotesis diterima.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka untuk kelompok
kontrol diperoleh harga-harga n = 45; S2
= 0,849 dan X = 7,867,
sedangkan untuk kelompok eksperimen diperoleh harga-harga n = 45;
S2
= 0,632 dan X = 8,506. Sementara itu, nilai variasi gabungan
S2
= 0,741 atau standar deviasi s = 0,861. Dari hasil perhitungan, harga
thit = 3,51. Jika dk = n1 + n2 – 2 = 88, dengan α = 0,05, maka nilai t(dk.1 – α)
atau t(88 : 0,95)

= 1,66.
Oleh karena thitung > ttabel atau 3,51 > 1,66, berdasarkan kriteria
penelitian, yaitu terima hipotesis (H1) jika thitung > ttabel dan oleh karena

20
berdasarkan perhitungan, thitung > ttabel maka jelas bahwa hipotesis
penelitian diterima. Berdasarkan hipotesis penelitian dapat dikatakan
bahwa motivasi belajar bahasa Indonesia siswa yang sering mendapat
evaluasi lebih tinggi dari yang jarang atau kurang mendapat evaluasi
(ulangan harian).
4.2 Bahasan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan ternyata hipotesis penelitian
diterima. Hasil pengujian tersebut memberikan keterangan bahwa ternyata prestasi
bahasa Indonesia siswa akan lebih tinggi jika kepada siswa tersebut sering diberikan
evaluasi (ulangan) setiap selesai suatu pembahasan dalam kegiatan belajar mengajar
dibandingkan dengan mereka yang jarang mendapatkan evaluasi (ulangan harian).
Tingginya prestasi belajar bahasa Indonesia berkaitan erat dengan motivasi
yang ada dalam diri siswa tersebut. Motivasi ini lahir akibat seringnya dilaksanakan
evaluasi yang mendorong siswa untuk selalu belajar dan mempelajari hal-hal lain
yang berhubungan dengan pelajarannya. Hal ini berarti bahwa ada hubungan yang
erat sekali antara frekuensi pemberian evaluasi (ulangan) harian dengan prestasi
belajar bagi siswa sementara kedua hal ini (frekuensi pemberian evaluasi dan prestasi
belajar) berhubungan erat dengan motivasi belajar siswa tersebut.
Motivasi belajar siswa adalah suatu dorongan yang bisa dipengaruhi oleh
faktor internal maupun faktor eksternal. Frekuensi pemberian evaluasi (ulangan)
harian adalah salah satu faktor eksternal. Faktor eksternal ini mampu memotivasi

21
siswa untuk berusaha maksimal dalam belajar dan hal ini tentunya bermuara pada
prestasi belajar siswa yang bersangkutan.

5. Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan yaitu: (1) Pemberian evaluasi
ulangan harian dapat mempengaruhi peningkatan motivasi belajar bahasa Indonesia
siswa tingkat SMP di Kabupaten Maros. Hal ini dapat dilihat prestasi pelajaran
bahasa Indonesia pada siswa kelas eksperimen terbukti lebih tinggi daripada prestasi
siswa kelas kontrol. Tingginya prestasi siswa berkorelasi positif dengan peningkatan
motivasi yang dimiliki, dan (2) Motivasi belajar siswa lahir akibat seringnya
diberikan evaluasi ulangan harian yang dapat mendorong siswa untuk rajin belajar
sehingga prestasinya dapat lebih baik dan meningkat.
5.2 Saran
Sesuai hasil penelitian, maka hal yang perlu disarankan yaitu: (1) Diharapkan
seluruh guru agar membiasakan memberikan evaluasi ulangan harian, setelah itu
diperiksa dengan baik, dan dikembalikan pekerjaan itu kepada siswa, dan (2)
Diharapkan agar sebelum guru menyajikan inti materi pelajaran, maka seyogyanya
terlebih dahulu memberikan motivasi kepada siswa, sehingga siswa lebih antusias dan
agresif menerima materi pelajaran.



22
Pustaka Acuan

Abdullah, Ambo Enre. 1980. Pokok-pokok Layanan Bimbingan Belajar. Ujung
Pandang: FIP IKIP Ujung Pandang.

Ahad, Daund. 1985. Pengantar Evaluasi. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. 1989. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penilaian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.

Manrihu, M. Tayeb. 1978. Azas-azas Evaluasi Hasil Belajar. Ujungpandang:
Lembaga Tes dan Pengukuran IKIP Ujungpandang.

Mappa, Syamsu. 1977. Psikologi Pendidikan. Ujungpandang: FIP IKIP
Ujungpandang.

Nurkancana, Wayan dan Sumartana, P.P.N. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya:
Usaha Nasional.

Rusli, Ratna Sajekti. 1989. Tes dan Pengukuran dalam Pendidikan. Jakarta: Proyek
Pengembangan dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Sardiman, A.M. 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Pedoman bagi Guru
dan Calon Guru). Jakarta: Rajawali.

Suryabrata, Sumadi. 1990. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan (Makalah
Penataran Penulisan Soal Tes Prestasi Belajar. Jakarta: Depdikbud.

Winkel, W.S. 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.


23