Jumat, 08 Juli 2011

MAKALAH KEBUDAYAAN

KEPERCAYAAN EKSISTENSIAL REMAJA JAWA
(Studi di Desa Tlogorejo, Purwodadi, Purworejo, Jawa Tengah)

Muhammad Idrus

Intisari: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pola asuh dan interaksi
teman sebaya terhadap status identitas, kepercayaan eksistensial dan orientasi nilai
budaya remaja Jawa. Model persamaan struktural dirancang untuk menganalisis secara
lebih komprehensif model hipotesis yang diajukan, dengan melibatkan 318 remaja di
Desa Tlogorejo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Data dikumpulkan
dengan menggunakan daftar isian dan skala. Teknis analisis yang digunakan adalah
model persamaan struktural melalui program Lisrel 8.30.
Hasil penelitian membuktikan bahwa : (1) model teoritis yang diajukan sesuai dengan
model empirik; (2) kepercayaan eksistensial tidak berkembang searah perkembangan usia
kronologis. Artinya, semakin tua usia individu, tidak berarti semakin baik kepercayaan
eksistensialnya.; (3) pola asuh orang tua ternyata tidak memiliki efek langsung terhadap
status identitas. Efek pola asuh orang tua terhadap status identitas terjadi secara tidak
langsung yaitu melalui orientasi nilai budaya. Pola asuh orang tua memiliki efek
langsung ataupun tidak langsung terhadap kepercayaan eksistensial remaja. Efek tidak
langsung pola asuh orang tua terhadap kepercayaan eksistensial terjadi melalui
orientasi nilai budaya, dan status identitas. (4) Interaksi teman sebaya memiliki efek
langsung ataupun tidak langsung terhadap status identitas, kepercayaan eksistensial
remaja dan orientasi nilai budaya. Selain itu juga diketahui adanya efek tidak langsung
interaksi teman sebaya terhadap kepercayaan eksistensial remaja melalui status identitas
dan orientasi nilai budaya, sedangkan efek tidak langsung interaksi teman sebaya
terhadap status identitas melalui orientasi nilai budaya (5) Orientasi nilai budaya
memiliki efek positif yang signifikan terhadap status identitas. Selain itu, orientasi nilai
budaya memiliki efek positif yang signifikan baik langsung ataupun tidak langsung
terhadap kepercayaan eksistensial secara langsung. Efek tidak langsung orientasi nilai
budaya terhadap kepercayaan eksistensial terjadi melalui status identitas; (6) hasil
penelitian ini menunjukkan interaksi segitiga antara interaksi teman sebaya, orientasi
nilai budaya dan status identitas. Interaksi segitiga lainnya muncul dalam interaksi antara
orientasi nilai budaya, status identitas dan kepercayaan eksistensial.

Kata kunci: kepercayaan eksistensial, pola asuh orang tua, interaksi teman sebaya,
orientasi nilai budaya, status identitas.







I. Pendahuluan
Kepercayaan merupakan suatu ciri universal khas manusia, ciri dari seluruh
tindakan, dan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai
“orang yang percaya, dan “orang berkeagamaan” atau sebagai “orang yang tidak percaya
pada apapun” (Fowler, 1981; Berryman, 1978). Kepercayaan tidak harus dimengerti
sebagai “kepercayaan religius”, tetapi terutama sebagai kepercayaan hidup atau
kepercayaan eksistensial (Cremers, 1995).
Dalam tulisannya Fowler (1995) menyatakan bahwa kepercayaan eksistensial
merupakan faktor terpenting dalam kehidupan manusia. Kepercayaan eksistensial
merupakan suatu hal yang universal yang dimiliki bersama oleh semua manusia,
merupakan ciri dari seluruh hidup, tindakan dan pengertian diri yang mengandung
pengakuan eksistensi Tuhan dalam setiap aktivitas hidupnya (Fowler, 1995). Pandangan
Fowler ini menyadarkan bahwa senyatanya dalam diri manusia selalu hadir Tuhan, dan
kesadaran akan adanya Tuhan dalam diri ini sebenarnya dimiliki oleh umat manusia tanpa
membedakan agamanya. Bahkan, dalam pandangan Fowler, ada kedekatan hubungan
antara Tuhan dengan manusia dalam setiap aktivitasnya.
Fowler (1981, 1982, 1988) mengungkap bahwa faktor–faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan kepercayaan eksistensial adalah: (a) lingkungan; (b)
kematangan; (c) krisis hidup; (d) pengalaman kehidupan religius; (e) tradisi sekitar; dan (f)
keanggotaan dalam kelompok. Dari pendapat Fowler ini dapat dimaknai bahwa beberapa
faktor yang ditengarai memiliki peran penting dalam perkembangan kepercayaan
eksistensial individu dapat berupa lingkungan – baik lingkungan keluarga, termasuk di
dalamnya model ataupun pola pengasuhan yang diterima anak-, lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat, juga lingkungan pergaulan anak dengan teman sebayanya.
Lingkungan masyarakat dapat saja terwujud dalam konsep budaya yang ada di masyarakat,

2

adat istiadat ataupun kebiasaan masyarakat, serta norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
Mengkaitkan tema pola asuh orang tua yang berlatar pada satu etnis tertentu
dengan orientasi nilai budaya yang dimiliki anak, dan interaksi antar mereka pada
komunitasnya serta status identitas dengan kualitas kepercayaan eksistensial yang mereka
capai menjadi satu kajian etnis psikologis yang menarik. Meski demikian, belum ada
penelitian yang secara spesifik membahas tentang tema tersebut dalam wujud tulisan
artikel, skripsi, tesis ataupun disertasi. Berdasar paparan di atas, perlu dikaji secara lebih
dalam tentang keterkaitan antara kepercayaan eksistensial remaja etnis Jawa dengan pola
pengasuhan yang mereka terima, orientasi nilai budaya, dan interaksi teman, serta status
identitas mereka.
Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini berusaha untuk mencari jawaban atas
pertanyaan: bagaimana efek pola asuh orang tua, interaksi teman sebaya, orientasi nilai
budaya, dan status identitas terhadap kualitas kepercayaan eksistensial.

II. Kajian Literatur
A. Kepercayaan Eksistensial
Fowler (1978) menyebut kepercayaan adalah suatu yang universal, ciri dari seluruh
hidup, tindakan dan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan diri sebagai
orang yang percaya dan orang berkeagamaan atau sebagai orang yang tidak percaya pada
apapun. Paparan Fowler tentang kepercayaan eksistensial merujuk pada iman, sesuatu
yang secara fitrah dimiliki manusia sebagai pemberian dari Tuhan sejak manusia berada di
alam rahim. Secara singkat Fowler (1981) menyatakan bahwa kepercayaan eksistensial
merupakan kualitas pribadi, yaitu suatu orientasi kepribadian seseorang menanggapi nilai

3

dan kekuasaan transenden, orientasi terhadap dirinya, sesamanya dan alam semesta yang
dilihat, dan dipahami lewat bentuk-bentuk tradisi kumulatif.
Dalam teorinya, Fowler (1981, 1995) menggambarkan tujuh tahap perkembangan
kepercayaan sebagai kejadian penting yang paling menentukan perjalanan religius setiap
orang. Ketujuh tahapan tersebut adalah (1) primal faith; (2) intuitive-projective faith; (3)
mythic-literal faith; (4) synthetic-conventional faith; (5) individuative-reflective faith; (6)
conjunctive faith; (7) universalizing faith. Khusus anak dan remaja tahap perkembangan
mereka adalah (1) primal faith; (2) intuitive-projective faith; (3) mythic-literal faith; (4)
synthetic-conventional faith.
Tahap awal dari teori kepercayaan dinamakan Fowler (1981) sebagai
undifferentiated faith, kepercayaan yang belum dibedakan, dan berlangsung antara 0 tahun
– 2 tahun. Hal ini karena pelbagai benih rasa, baik rasa percaya, otonomi, keberanian,
harapan dan kasih sayang masih bersatu dan tidak dapat terbedakan. Lebih lanjut diungkap
Fowler (1981) bahwa kepercayaan elementer adalah suatu rasa yang menyusun gambaran
tentang suatu realitas yang dapat diandalkan anak untuk membentuk kualitas mutualitas,
kuatnya kepercayaan, otonomi, harapan dan keberanian dalam menghadapi pola
perkembangan kepercayaan eksistensial selanjutnya.
Tahapan kedua dari tahap kepercayaan eksistensial yang diajukan Fowler adalah
intuitive-projective faith. Tahap ini berlangsung antara usia 2 tahun hingga 6 tahun, atau 7
tahun. Setelah melalui masa yang oleh Fowler disebutnya sebagai masa undifferentiated
faith, yang meletakkan dasar kepercayaan dan mutualitas, tahapan berikut dari
kepercayaan merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signifikan dari
orang dewasa, anak-anak masih dikuasi oleh egosentrisme kognitif dan pengembangan
kemampuan imajinasi (Fowler, 1981).

4

Tahapan ketiga dalam fase perkembangan kepercayaan menurut Fowler adalah
tahap mythic-literal faith, yaitu kepercayaan mistis harfiah. Tahapan ini dialami anak usia
antara 7 tahun hingga 11 tahun. Sesuai tahapan kognisinya, pada masa ini anak mulai
dapat berpikir logis, dan mengatur dunia dengan kategori-kategori baru. Pada tahap ini
anak secara sistematis mengambil makna dari tradisi masyarakatnya, anak secara khusus
menemukan koherensi dan makna pada bentuk-bentuk naratif (Fowler, 1981).
Tahap keempat adalah tahap synthetic-conventional faith, kepercayaan sintetis
konvensional. Tahap ini dialami pada usia 12 tahun sampai usia dewasa. Terjadinya
perubahan transisi pada usia 12 tahun, menuju pada kemampuan berpikir operasional
formal menandai permulaan tahap kepercayaan ini. Tahap ini bagi Fowler (1981)
merupakan tahap konformistis, hal ini karena adanya penyesuaian individu dengan harapan
dan penilaian-penilaian orang-orang yang penting (significant others).
Tahap kelima dari tahapan kepercayaan yang diajukan Fowler adalah tahap yang
disebutnya sebagai individuative-reflective faith, kepercayaan individuatif-reflektif. Tahap
kepercayaan ini dialami pada saat masa dewasa awal. Fowler (1995) menandai tahapan
ini dengan (1) adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan
orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu;
(2) mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego
eksekutif” sebagai tanggungjawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang
akan membantunya membentuk identitas diri.
Tahap keenam adalah conjunctive faith, kepercayaan konjungktif. Tahap ini
muncul kira-kira pada usia tengah baya (dewasa akhir). Tahap ini berusaha menyatukan
pertentangan dan kontradiksi, yang pada tahap sebelumnya dirasakan sebagai sungguh-sungguh terpisah dan tidak mungkin diperdamaikan, kini dipersatukan dalam satu kesatuan
utuh. Individu mulai menyadari kelemahan berpikir model dimensi tunggal, dan kini ia

5

mulai bersikap toleran terhadap ambiguitas dan paradok, serta kemungkinan perpindahan
dari satu kutub ke kutub lainnya, karena keduanya merupakan kesatuan yang polar
dialektis (barangkali alasan inilah yang menjadikan Fowler pada awalnya menamakan
tahapan ini dengan tahap kepercayaan polar-dialektis).
Tahap terakhir dari tahapan kepercayaan yang diajukan Fowler adalah
universalizing faith, kepercayaan yang universal. Tahap kepercayaan universal ini
berkembang pada usia lanjut, dan menurut Fowler (1981) sangat jarang terjadi. Pribadi
yang tepat yang digambarkan pada tahap ini adalah pribadi yang menghasilkan berbagai
komposisi iman dengan penghayatan akan realitas dasar mencakup segala sesuatu.
B. Pengertian Pola Asuh Orang tua
Dalam tulisannya Kohn (1971) memaknai gaya pengasuhan sebagai sikap orang
tua dalam berhubungan dengan anaknya. Pola interaksi antara orang tua-anak inilah yang
oleh Hauser, dkk (1984) disebutnya sebagai interactional style untuk menyebut gaya
pengasuhan, dan mengartikannya sebagai kecenderungan-kecenderungan orang tua dalam
berinteraksi dengan anak. Hampir senada dengan yang diungkap oleh Hauser, dkk.,
Garbarino dan Benn (1992) memberikan makna pengasuhan sebagai pola hubungan yang
intensif berdasarkan pada perkembangan kebutuhan anak bagi pertumbuhan anak.
Brooks (dalam Hamner & Turner, 1996) memaknai pengasuhan sebagai sebuah
proses yang menyangkut pemeliharaan, perlindungan dan mengarahkan anak pada
perkembangannya. Lebih lanjut diungkap Brooks bahwa dalam proses tersebut
pengasuhan merupakan interaksi yang berkelanjutan antara orang tua dan anak. Dengan
kalimat yang sederhana Nancy (1999) mendefinisikan pengasuhan sebagai aktivitas
komplek yang terdiri dari perilaku-perilaku yang khas yang secara individu ataupun
bersama-sama mempengaruhi perkembangan anak.

6

Dari paparan di atas, pengasuhan dapat dimaknai sebagai proses interaksi orang
tua-anak yang berkelanjutan yang menyangkut pemeliharaan, perlindungan dan
pengarahan orang tua terhadap anak dalam rangka perkembangan anak. Sebagai sebuah
interaksi, maka akan dengan sendirinya terjadi proses saling pengaruh-mempengaruhi.
Dalam penelitian ini pola pengasuhan orang tua Jawa dikelompokkan menjadi 3 aspek,
yaitu: pola asuh yang mendorong, pola asuh yang menghambat dan pola asuh yang
membiarkan. Aspek pola asuh yang mendorong termasuk membelokkan dari tujuan yang
tidak diinginkan, menunda kebutuhan sesaat, mengajarkan kepatuhan, mengajarkan
kesopanan, memberi perintah yang rinci tanpa emosional dan memberi hadiah. Untuk
aspek pola asuh yang menghambat termasuk menakut-nakuti anak, memberi hukuman dan
memusuhi (menyatru). Untuk aspek pola asuh yang membiarkan termasuk mengumbar
dan ngelulu.
C. Interaksi antar Teman Sebaya
Interaksi teman sebaya merupakan sekumpulan anak dengan keanggotaan
terbatas, yang melakukan interaksi satu dengan yang lain, saling membagi dan
mempengaruhi nilai, norma kebiasaan di antara mereka. Dalam penelitian ini interaksi
antarteman sebaya ditandai dengan aspek kualitas interaksi yang termasuk sifat toleran,
luwes, energik, riang, memiliki rasa humor, bertingkah sewajarnya, kepercayaan diri,
mencari perhatian, egois dan interaksi dengan kelompoknya.
Craig (1980) memahami kelompok teman sebaya bukan sekadar sekumpulan anak,
yang dengan keanggotaan terbatas, namun juga mengharuskan adanya interaksi satu
dengan yang lain. Ditambahkannya bahwa kelompok teman sebaya ini relatif stabil untuk
waktu tertentu, dengan saling membagi dan mempengaruhi nilai, norma kebiasaan di
antara mereka. Dalam kelompok tersebut mereka melakukan interaksi sosial, yaitu

7

hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat
mempengaruhi inividu yang lain (Walgito, 1978).
Interaksi antar teman sebaya begitu penting, hal ini sebagaimana diungkap Mussen,
dkk (1974) yang melihat bahwa interaksi dengan teman sebaya akan menyediakan
peluang untuk belajar cara berinteraksi dengan teman seusianya, untuk mengontrol
perilaku sosial, untuk mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usia dan
untuk saling membagi persoalan atau perasaan yang sama.
D. Orientasi Nilai Budaya Orang Jawa
Orientasi nilai budaya Jawa dalam penelitian ini adalah aspek kepribadian, sesuatu
yang dipandang baik, berguna atau penting, diyakini kebenarannya dan dijadikan patokan
bagi individu tersebut dalam bertingkah laku dan berinteraksi dengan sesamanya serta
digunakan sebagai patokan yang mengarahkan perbuatan serta cara pengambilan
keputusan dalam menghadapi sesuatu yang sifatnya sangat spesifik berdasar pada budaya
Jawa.
Dari hasil penelitiaannya, Geertz (1983) menengarai ada dua kaidah nilai yang
paling menentukan dalam pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yang secara ringkas
dapat disebut sebagai kaidah ke-rukun-an (avoidance of conflict), dan kaidah horm1at.
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang
harmonis. Rukun dapat juga berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”,
“tanpa perselisihan dan pertentangan”, bersatu dalam maksud untuk saling membantu”
(Mulder, 1986). Dalam prinsip rukun selalu dituntut kerelaan-kerelaan tertentu. Magnis-Suseno (1984) mengungkap bahwa untuk mencegah konflik orang harus bersedia untuk
kompromi, harus seringkali rela untuk tidak memperoleh haknya dengan sepenuhnya.
Kaidah kedua adalah prinsip hormat, prinsip ini mengajarkan bahwa setiap orang
dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus dapat menunjukkan sikap hormat

8

terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Seperti juga prinsip
kerukunan, prinsip ini pada akhirnya menginginkan satu tatanan sosial yang selaras, untuk
itu, setiap individu dalam masyarakat harus dapat membawa diri sesuai dengan tuntutan
dan tuntunan tatanan sosial. Magnis-Suseno (1984) mengungkap lebih jauh, bahwa jika
setiap orang menerima kedudukannya, maka tatanan sosial terjamin, dan oleh karena itu
orang jangan mengembangkan ambisi-ambisi, jangan mau bersaing satu sama lain,
melainkan hendaknya setiap orang puas dengan kedudukan yang telah diperolehnya dan
berusaha untuk menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya.
Seiring dengan perkembangannya, seorang anak dari keluarga Jawa dituntut untuk
dapat memahami konsep-konsep kejawaan tentang kaidah kehormatan. Geertz
mengungkap bahwa anak mempelajari prinsip kehormatan dalam keluarga melalui tiga
sikap yang dipelajarinya dalam rangka menghormati orang lain, yaitu sikap takut (wed1i),
malu (isin), dan segan (sungkan).
Selain itu dalam upaya menjaga kehidupan sosial yang lebih harmoni, Geertz
(1961), Koentjaraningrat (1984), Magnis-Suseno (1984) mengajukan nilai-nilai kebajikan
yang merupakan nilai-nilai yang harus dijunjung oleh setiap individu Jawa, yaitu manut
(obedience to superiors), kemurahan hati (generosity), menghindari konflik (avoidance of
conflict), tepa seliro (understanding of others), empati. Mastoni (2002) menambah
beberapa nilai yang juga akrab pada budaya Jawa yaitu tenggang rasa, sopan santun,
sabar. Koentjaraningrat (1984) juga menambahkan eling dan prehatin sebagai sikap yang
harus dimiliki oleh individu Jawa.
E. Teori Status Identitas
Berdasar pada konsep identitas ego yang dikemukakan oleh Erikson (1963, 1968),
Marcia (1993) mengelaborasinya dengan pendekatan identity status yang terdiri atas
identity achievement, identity diffusion, identity foreclosure, moratorium. Konsep tersebut

9

dikembangkan untuk lebih dapat mengemperikkan konsep Erikson tentang identity vs
identity conffusion.
Penamaan status identitas sendiri menurut Marcia (1993) tidak dilakukan atau
dianjurkan oleh Erikson sebagai pendekatan status. Penamaan ini diambil dari tulisan
Erikson tentang ciri-ciri yang membentukan identitas. Dalam tulisan lainnya Marcia
(1980) mengungkap bahwa status-status identitas dikembangkan sebagai sarana
metodologis bagi konsep teoritik Erikson tentang identitas yang bersifat subjektif ke arah
studi empIrik. Josselson (1994) mengakui setelah konsep status identitas dikenalkan oleh
Marcia, maka banyak para peneliti psikologi yang mengabaikan pendekatan lain yang ada
sebelumnya.
Konsep Marcia tentang status identitas sebagaimana diungkap Marcia (1980,
1994) dan Waterman (1993) sebagai berikut: (1) Identity diffusion: merupakan status
identitas yang dicirikan dengan adanya penghindaran terhadap komitmen, pengingkaran
tentang tema utama kehidupan seperti pekerjaan, ideologi dan agama. Orang dalam
kelompok ini tidak memiliki komitmen dan tidak memiliki krisis. Individu yang
mengalami krisis ini akan menolak peran-peran keluarga maupun peran karir. Meski
demikian individu masih memiliki preferensi terhadap satu pola prioritas yang ada, namun
sebenarnya individu tidak memiliki keseriusan untuk mewujudkan prioritas tersebut, atau
bersikap sebaliknya melakukan aktivitas namun tidak terkait dengan preferensi yang
dimaksud. Individu dalam kondisi ini kerap mengekpresikan dirinya di luar kendali,
menjalani kehidupan tanpa berusaha untuk mencoba mengubahnya; (2) Identity
foreclosure: yaitu orang yang membuat komitmen dengan tingkat krisis yang kecil.
Contoh orang yang dalam kondisi ini adalah seseorang yang memiliki komitmen untuk
menjadi seorang dokter, hanya karena ayah atau kakeknya menjadi dokter. Karakteristik
orang ini adalah penerimaan tentatif terhadap nilai-nilai orang lain (seperti orang tua, guru)

10

dibanding terhadap tujuan ataupun nilai yang telah ditentukan dirinya. Ciri menonjol dari
individu ini adalah adanya komitmen yang kuat terhadap keluarganya; (3) Moratorium:
kondisi orang yang sedang mengalami krisis, namun tidak memiliki komitmen. Dicirikan
dengan perhatian terhadap keputusan-keputusan utama, eksplorasi terhadap kemungkinan
masa depan (pekerjaan, politik, sosial, seksual) tetapi tidak ditentukan dalam komitmen
solid; (4) Identity achievement: merupakan periodesasi individu yang mengalami
eksplorasi dan individu dengan status ini menentukan dan membuat komitmen tentang
idealita dan rencana-rencana. Adanya kesadaran akan penentuan pilihan menjadikan
individu dalam status ini lebih sadar akan potensi-potensi yag mereka miliki serta
kesulitan-kesulitan potensial yang akan mereka hadapi. Kesadaran semacam ini tidak
ditemukan pada individu foreclusure.

III. Metode Penelitian
A. Pemilihan Lokasi dan Subjek Penelitian
Lokasi penelitian ini di daerah Kelurahan Tlogorejo, Kecamatan Purwodadi,
Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi didasarkan pada
pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan daerah transisi kebudayaan antara sub
kultur kebudayaan Jawa Banyumasan dan subkultur kebudayaan Jawa Negarigung.
Sebagaimana dipahami pada subkultur kebudayaan Banyumasan menggunakan bahasa
Jawa khas yang terkadang disebut dengan bahasa Jawa Ngapak, sedangkan subkultur
kebudayaan Negarigung dikenal dengan tutur bahasa yang lebih halus. Sebagai daerah
yang berada di wilayah transisi kebudayaan Jawa Banyumasan dan kebudayaan
Negarigung, daerah Tlogorejo bukanlah daerah yang lekat dengan tradisi pesantren,
namun lebih lekat pada tradisi Jawa tradisional (kejawen, istilah yang digunakan Geertz,
1961).

11

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja Jawa yang berdomisili di wilayah
Kelurahan Tlogorejo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa
Tengah., yang berjumlah 318 (156 laki-laki, 162 perempuan). Pemilihan subjek didasarkan
pada beberapa kriteria, yaitu: (1) lahir dan tinggal di lokasi penelitian; (2) kedua orang tua
berasal dari Jawa (tidak termasuk Jawa Barat) dan tinggal di lokasi lebih dari 10 tahun; (3)
menggunakan bahasa Jawa dalam interaksi sehari-hari baik di rumah (dengan orang tua),
saat bermain, ataupun di sekolah (saat mereka dengan teman sekolahnya); (4) memahami
sebagian besar kebudayaan Jawa yang berlangsung di daerahnya; dan (5) mengaku bahwa
dirinya adalah orang Jawa.
B. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data tentang variabel-variabel dalam
penelitian ini adalah skala, yaitu: (a) Skala Kepercayaan Eksistensial, (b) Skala Pola Asuh
Orang tua, (c) Skala Interaksi Teman Sebaya, (d) Skala Status Identitas, dan (e) Skala
Orientasi Nilai Budaya. Kecuali Skala Identitas yang dikembangkan dari skala yang
diajukan oleh Bennion & Adams (1986), skala lainnya dikembangkan berdasarkan teori.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
dalam bentuk skala, dan daftar isian.
D. Analisis Data Penelitian
Teknik yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini yaitu
Structural Equation Models sebagaimana disarankan Ferdinand (2000), dan menggunakan
program Lisrel 8.0 sebagai program analisisnya.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis-hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Hipotesis Mayor 1. Terdapat efek positif pola asuh orang tua terhadap status identitas,

12

kepercayaan eksistensial, dan orientasi nilai budaya. Hipotesis ini dibagi menjadi hipotesis
minor, (1.a.) Terdapat efek positif pola asuh orang tua terhadap status identitas; (1.b)
Terdapat efek positif pola asuh orang tua terhadap kepercayaan eksistensial; (1.c)
Terdapat efek positif pola asuh orang tua terhadap orientasi nilai budaya.
Hipotesis Mayor 2. Terdapat efek positif interaksi teman sebaya terhadap status
identitas, kepercayaan eksistensial, dan orientasi nilai budaya. Hipotesis ini dibagi menjadi
hipotesis minor (2.a.) Terdapat efek positif interaksi teman sebaya terhadap status
identitas; (2.b) Terdapat efek positif interaksi teman sebaya terhadap kepercayaan
eksistensial; (2.c) Terdapat efek positif interaksi teman sebaya terhadap orientasi nilai
budaya.
Hipotesis Mayor 3. Terdapat efek positif orientasi nilai budaya terhadap status
identitas, dan kepercayaan eksistensial. Hipotesis ini dibagi menjadi hipotesis minor (3.a.)
Terdapat efek positif orientasi nilai budaya terhadap status identitas; (3.b) Terdapat efek
positif orientasi nilai budaya terhadap kepercayaan eksistensial. Hipotesis Mayor 4.
Terdapat efek positif status identitas terhadap kepercayaan eksistensial.

IV. Hasil Penelitian
A. Pengujian Hipotesis
Dari hasil analisis diketahui bahwa model yang diajukan sesuai dengan data
empiris. Selanjutnya dengan model tersebut dilakukan analisis data yang diperoleh dari
lapangan. Berikut ini dipaparkan hasil analisis data penelitian. Dari hasil uji kesesuaian
model diperoleh harga kai-kuadrat sebesar 0,061. Dari hasil ini diketahui bahwa model
teoritik yang diajukan tidak berbeda dengan model empiris di lokasi penelitian. Ringkasan
hasil analisis dapat dilihat pada gambar 1.


13











Selanjutnya, dengan menggunakan model tersebut diketahui bahwa variabel pola
asuh, interaksi teman sebaya, status identitas dan orientasi nilai budaya secara bersama-sama memiliki efek signifikan yang besar terhadap pembentukan kepercayaan eksistensial
pada kalangan remaja di lokasi penelitian yaitu sebesar 0,71 (angka gamma), p = 0,05.
Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa pembentukan kepercayaan eksistensial di kalangan
remaja di lokasi penelitian 71% ditentukan oleh pola asuh orang tua, interaksi antarteman
sebaya, status identitas mereka dan orientasi nilai budaya.
Efek langsung variabel pola asuh orang tua dan interaksi teman sebaya terhadap
status identitas secara bersama-sama adalah sebesar 0,42 (angka gamma), p = 0,05.
Dengan begitu variabel pola asuh orang tua dan interaksi teman sebaya dapat menjelaskan
munculnya status identitas remaja Jawa di lokasi penelitian sebesar 42 persen. Efek
langsung pola asuh orang tua dan interaksi teman sebaya terhadap orientasi nilai budaya
remaja Jawa sebesar 0,25 (gamma) p = 0,05. Artinya, semakin baik pola asuh dan
interaksi teman sebaya remaja, akan semakin baik orientasi nilai budayanya. Sebaliknya,
semakin jelek kualitas pola asuh dan atau interaksi teman sebaya, remaja semakin tidak

14

memiliki orientasi nilai budaya yang baik. Dari hasil perhitungan diketahui efek langsung,
efek tak langsung dan efek total untuk masing-masing variabel eksogen terhadap variabel
endogen.
Dari model tersebut secara umum diketahui bahwa pola asuh tidak memiliki efek
langsung terhadap status identitas (gamma = 0,16; p > 0,05). Efek pola asuh terhadap
status identitas terjadi secara tidak langsung dan melalui orientasi nilai budaya sebesar
0,17; nilai t= 1,41; nilai estimasi sebesar 0,13; dan standard error= 0,09. Efek total pola
asuh terhadap status identitas adalah sebesar 0,33; (gamma). Dengan demikian, hasil
penelitian ini menunjukkan tidak adanya efek positif pola asuh orang tua terhadap status
identitas remaja. Artinya, bagaimana pun pola asuh yang diterapkan orang tua dalam
mengasuh anaknya, tidak memberi efek yang signifikan pada status identitas remaja. Hasil
ini merekomendasikan menolak hipotesis minor 1a.
Terkait dengan kepercayaan eksistensial ternyata pola asuh orang tua memiliki
pengaruh positif yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan angka gamma sebesar 0,21
yang merupakan efek langsung pola asuh orang tua terhadap kepercayaan eksistensial
(nilai estimasi sebesar 0,14, nilai t sebesar 2,22; standard error sebesar 0,06). Dengan
demikian, dapat dimaknai bahwa semakin baik dan kondusif pola asuh yang diterapkan
orang tua dan diterima anak akan semakin baik pula tingkat kepercayaan eksistensial anak.
Efek total pola asuh orang tua terhadap kepercayaan eksistensial adalah sebesar
0,45, dan efek tak langsung pola asuh orang tua terhadap kepercayaan eksistensial adalah
sebesar 0,21. Hasil penelitian ini menyimpulkan ada efek positif pola asuh orang tua
terhadap kepercayaan eksistensial baik langsung ataupun tidak langsung. Hasil ini dapat
dimaknai bahwa pola asuh yang diterapkan orang tua Jawa memiliki efek positif terhadap
pembentukan kepercayaan eksistensial anak. Semakin baik pola asuh yang diterapkan,
akan semakin meningkatkan kepercayaan eksistensial anak. Beberapa perilaku yang

15

tampaknya mendukung pernyataan ini adalah, kerapnya orang tua mengajak anak-anak
melaksanakan ibadah secara bersama, pergi ke tempat-tempat ibadah, atau mengajarkan
anak tentang siapa Tuhannya. Penelitian ini menerima hipotesis minor 1b.
Pola asuh orang tua juga memiliki efek positif yang signifikan terhadap orientasi
nilai budaya remaja yang ditunjukkan dengan nilai gamma sebesar 0,41 (nilai t sebesar
3,58; standar error 0,06 dan nilai estimasinya sebesar 0,14). Nilai tersebut menunjukkan
efek langsung pola asuh orang tua terhadap orientasi nilai budaya sebesar 41 %. Adanya
efek langsung pola asuh orang tua terhadap orientasi nilai budaya lebih membuktikan
bahwa keluarga merupakan tempat sosialisasi nilai-nilai. Semakin baik model pola asuh
semakin baik model sosialisasi yang dibangun di dalamnya, dan akan memudahkan anak
untuk menyerap nilai-nilai yang diajarkan pada mereka baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Penelitian ini menerima hipotesis minor 1c.
Efek positif langsung interaksi teman sebaya terhadap status identitas ditunjukkan
dengan nilai gamma sebesar 0,27, dengan nilai t sebesar 3,67, standar error 0,03 dan nilai
estimasi sebesar 0,11, dan p = 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa dalam proses
pencarian jati diri, remaja cenderung lebih dekat kepada teman sebaya atau sepermainan
mereka. Selanjutnya, sebagai prediktor interaksi teman sebaya juga memiliki efek total
terhadap status identitas yaitu sebesar 0,35, sedangkan efek tidak langsungnya sebesar
0,08. Efek tidak langsung interaksi teman sebaya terhadap status identitas ini terjadi
melalui orientasi nilai budaya. Hasil ini menunjukkan bahwa ada efek positif yang
signifikan interaksi teman sebaya terhadap status identitas baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Penelitian ini menerima hipotesis minor 2a.
Efek langsung interaksi teman sebaya terhadap kepercayaan eksistensial adalah
sebesar 0,17, nilai estimasi 0,06, nilai t sebesar 2,55, dan standar errornya sebesar 0,02, p
= 0,05. Tampaknya bagi remaja Jawa di lokasi penelitian, teman sebaya bukan hanya

16

sebagai identifikasi mereka untuk pencarian jati diri, melainkan juga dalam proses
kepercayaan. Setidaknya hal tersebut ditunjukkan dengan adanya efek langsung interaksi
teman sebaya terhadap kepercayaan eksistensial remaja Jawa. Artinya, semakin baik
interaksi yang dibangun akan menguatkan kepercayaan eksistensial mereka, sebaliknya
semakin buruk kualitas interaksi cenderung menyebabkan menurunnya kepercayaan
eksistensial mereka. Efek total variabel interaksi teman sebaya terhadap kepercayaan
eksistensial ini adalah 0,38, sedangkan efek tidak langsungnya sebesar 0,21. Efek tidak
langsung tersebut dapat terjadi melalui orientasi nilai budaya dan status identitas. Dengan
demikian, dapat dinyatakan hipotesis minor 2b, yang menyatakan terdapat pengaruh positif
interaksi teman sebaya terhadap kepercayaan eksistensial dapat diterima.
Efek langsung interaksi teman sebaya terhadap orientasi nilai budaya diketahui dari
nilai gammanya yaitu sebesar 0,20 (nilai estimasi sebesar 0,04, nilai t sebesar 2,48 dan
standard errornya sebesar 0,01). Sebagaimana dikonsepkan dalam rancangan analisis,
bahwa interaksi teman sebaya memang menunjukkan efek langsung terhadap kepercayaan
eksistensial, dan hasil penelitian ini membuktikan adanya pengaruh positif yang signifikan
interaksi teman sebaya terhadap orientasi nilai budaya. Dengan begitu hipotesis minor 2.c
diterima.
Dari hasil uji hipotesis di atas, menunjukkan hanya hipotesis minor 1a yang
ditolak, sedangkan hipotesis minor 1b, 1c, 2a, 2b dan 2c diterima.
Jika pada analisis sebelumnya diketahui bahwa pola asuh orang tua tidak memiliki
efek yang signifikan terhadap status identitas remaja, maka tidak demikian dengan hasil
analisis efek total pola asuh orang tua terhadap aspek status identitas. Dari analisis
diketahui bahwa pola asuh orang tua memiliki efek signifikan terhadap seluruh aspek
status identitas. Pola asuh orang tua memiliki efek total negatif pada status identitas difusi

17

dan status identitas moratorium, masing-masing sebesar -0,18 + error sebesar 0,06 dan -0,13 + error sebesar 0,05.
Hal ini dapat diartikan bahwa semakin positif pola asuh orang tua yang diterapkan
dalam keluarga dan diterima anak-anak, akan menurunkan tingkat difusi dan moratorium
identitas anak. Sebaliknya semakin buruk pola asuh yang diterima anak akan menjadikan
anak cenderung pada status difusi dan moratorium yang tinggi. Efek total pola asuh
tertinggi terhadap status identitas achivement yaitu sebesar 0,25, sehingga dapat
dinyatakan bahwa 25 persen tercapai tidaknya kondisi status achievement pada diri remaja
di lokasi penelitian dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan orang tua dan diterima
anak.
Hampir sama dengan yang terjadi pada variabel pola asuh orang tua, ternyata pada
variabel interaksi teman sebaya juga terdapat pola yang sama. Pada status identitas difusi
dan moratorium, interaksi teman sebaya memiliki efek total yang negatif. Dengan begitu
dapat juga disimpulkan bahwa semakin baik dan kondusif interaksi antarteman sebayanya
menjadikan remaja di lokasi penelitian memiliki tingkat difusi dan moratorium yang
rendah. Efek total interaksi teman sebaya tertinggi terjadi pada status identitas achivement,
yaitu sebesar 0,15 sehingga dapat dinyatakan bahwa 15 persen tercapai tidaknya kondisi
status achievement pada diri remaja di lokasi penelitian dipengaruhi oleh interaksi mereka
dengan teman sebayanya.
Efek total pola asuh orang tua terhadap aspek dari kepercayaan eksistensial adalah
sebesar 0,31 pada aspek pengakuan terhadap Tuhan dan sebesar 0,38 pada aspek
komitmen pada ajaran agama. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pola asuh yang
diterima anak akan memberi efek terhadap aspek-aspek kepercayaan eksistensial yang
terdiri dari aspek pengakuan terhadap Tuhan dan aspek komitmen pada ajaran agama.

18

Selanjutnya, efek interaksi teman sebaya terhadap aspek kepercayaan eksistensial
adalah sebesar 0,13 pada aspek pengakuan terhadap Tuhan dan sebesar 0,16 pada aspek
komitmen pada ajaran agama. Meskipun tidak terlepas adanya error, namun penelitian ini
dapat menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya akan memberi efek positif terhadap
kepercayaan eksistensial remaja.
Efek total pola asuh orang tua terhadap aspek orientasi nilai budaya sebagai
berikut, untuk aspek orientasi nilai diri sebesar 0,16, aspek orientasi nilai pada sesama
sebesar 0,81 dan orientasi nilai pada Tuhan sebesar 0,21. Jika dilihat dari hasil tersebut
tampaknya nilai estimasi efek total pola asuh orang tua dengan aspek orientasi nilai sesama
adalah efek total yang tertinggi jika dibandingkan terhadap aspek lainnya. Hasil ini
setidaknya memberi simpulan bahwa pola asuh yang diterima anak saat mereka kecil
begitu berpengaruh terhadap cara mereka memandang sesamanya.
Kondisi yang sama juga terjadi pada variabel interaksi teman sebaya. Dari hasil
analisis juga diketahui ternyata efek total interaksi teman sebaya yang tertinggi terdapat
pada aspek orientasi nilai pada sesama yaitu dengan nilai estimasi sebesar 0,19, sedangkan
untuk orientasi nilai pada Tuhan sebesar 0,05 dan terakhir pada aspek orientasi nilai diri
sebesar 0,04.
Efek langsung orientasi nilai budaya terhadap status identitas cukup besar
(gamma = 0,41) nilai estimasinya sebesar 0,89, nilai t sebesar 3,80, dan error sebesar
0,23, dan p = 0,05. Orientasi nilai budaya tidak memiliki efek tidak langsung terhadap
status identitas, sehingga angka efek langsungnya (yang sekaligus juga efek totalnya,
karena tanpa efek tidak langsung) terlihat cukup besar. Dari hasil ini dapat disimpulkan
bahwa orientasi nilai budaya memiliki efek positif yang signifikan orientasi nilai budaya
terhadap status identitas. Dengan begitu hipotesis minor 3a diterima.

19

Selanjutnya orientasi nilai budaya juga memiliki efek positif yang signifikan baik
secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kepercayaan eksistensial. Efek
langsungnya sebesar 0,20 dengan nilai estimasi sebesar 0,34, nilai t sebesar 2,11 dan error
sebesar 0,16, dan p = 0,05. Selain itu juga diketahui efek tidak langsung dan efek total dari
orientasi nilai budaya terhadap kepercayaan eksistensial. Dari hasil analisis diketahui
ternyata efek tidak langsung orientasi nilai budaya terhadap kepercayaan eksistensial sama
besarnya dengan efek langsung yaitu 0,20. Hasil ini merekomendasikan untuk menerima
hipotesis alternatif 3b.
Efek status status identitas terhadap kepercayaan eksistensial ditunjukan dengan
nilai gamma sebesar 0,5, nilai estimasinya sebesar 0,39 dengan error 0,09 dan nilai t
sebesar 4,15, p = 0,05. Status identitas hanya memiliki efek langsung terhadap
kepercayaan eksistensial, sehingga efek totalnya sama dengan efek langsungnya yaitu
sebesar 0,50. Hal ini berarti terdapat efek positif yang signifikan status identitas terhadap
kepercayaan eksistensial, sehingga hasil ini merekomendasikan untuk menerima hipotesis
mayor 4.a
B. Bahasan Hasil Penelitian
Merujuk pada deskripsi variabel kepercayaan eksistensial ditinjau dari usia,
ternyata tidak ditemukan satu pola yang teratur antara perkembangan usia dengan
perkembangan tingkat kepercayaan. Maksudnya, selama ini teori kepercayaan eksistensial
yang diajukan Fowler (1981) mengasumsikan adanya keterkaitan antara usia dengan
perkembangan kepercayaan. Itu sebabnya teori perkembangan kepercayaan Fowler disebut
s1ebagai tahap perkembangan kepercayaan.
Berdasarkan pada hasil penelitian, ternyata dapat dipahami bahwa perkembangan
kepercayaan eksistensial tidak lekat dengan perkembangan usia. Artinya, semakin tua usia
seseorang tidak menjamin akan semakin baik tingkat kepercayaan yang dimilikinya. Bagi

20

orang Jawa yang dimaksud ”tua (temuwo, sepuh)” tidak selalu berkonotasi dengan usia
kronologi yang banyak. ”Tua” bagi orang Jawa punya makna yang tidak tunggal, sebab
kata itu selain dapat dimaknai secara harfiah sebagai orang yang memiliki usia cukup
banyak, juga dapat diartikan sebagai orang yang memiliki banyak pengetahuan
kerohanian, orang yang memiliki ”kelebihan” tertentu. Pada makna yang terakhir ini,
terbukti bahwa orang yang memiliki kelebihan secara spiritual tidak selamanya sudah tua
secara kronologi, tetapi dapat juga secara usia kronologi muda, tetapi sudah sampai pada
tahap ”tua” yang dikehendaki orang Jawa.
Penelitian ini membuktikan bahwa bagi orang Jawa tingkat kepercayaan pada
Tuhan (iman) yang dalam penelitian ini disebut sebagai kepercayaan eksistensial tidak
berkembang searah perkembangan usia kronologis. Berbeda dengan asumsi yang diajukan
Fowler (1981), bahwa perkembangan kepercayaan searah dengan perkembangan usia.
Artinya, bagi Fowler (1981) semakin tua usia kronologis individu, maka akan semakin
tinggi tingkat kepercayaan eksistensialnya. Pada sisi ini akan lebih dipahami bahwa pada
budaya berbeda akan terdapat model yang khas dalam proses pembentukan kepercayaan
(iman).
Penelitian yang dilakukan Fowler (1981) memiliki latar belakang budaya yang
cenderung kaum mudanya mengabaikan agama, dan baru pada usia-usia tengah baya dan
menjelang senja umumnya mulai mengalihkan perhatiannya pada agama. Sementara pada
kebanyakan masyarakat Jawa nilai-nilai agama mulai dikenalkan sejak dini. Anak-anak
Jawa pada kebanyakan kesempatan mengikuti orang tua mereka pada prosesi ritual agama.
Situasi inilah yang menyebabkan banyak kalangan muda Jawa telah secara baik mengenal
agama mereka. Di samping itu, diakui bahwa perkembangan teknologi penyiaran televisi
sedikit banyak memberi efek yang signifikan terhadap kepercayaan agama yang telah
dibangun sejak kecil menjadi fluktuatif. Artinya, pada masa-masa tertentu terlihat masjid,

21

gereja, pura atau tempat ibadah lainnya penuh, namun pada kesempatan lain tempat ibadah
tersebut sepi dari para remaja.
Situasi tersebut tergambarkan di lokasi penelitian pada hari-hari di bulan
Ramadhan, masjid desa penuh sesak dengan para remaja. Kondisi tersebut berlangsung
pada awal-awal Ramadhan, tetapi menjelang pertengahan hingga tiga atau empat hari
sebelum lebaran situasi tersebut menurun dan kembali semarak menjelang hari raya idul
fitri. Bukan hanya itu, pada hari-hari tertentu saat televisi menayangkan kesenian
tradisional ”ketoprak”, maka suasana masjid yang biasanya ramai, menjadi sepi dari
kehadiran remaja, hanya beberapa remaja yang masih shalat berjamaah.
Dengan mengambil lokasi pada situs yang berbudaya Jawa, penelitian ini ingin
melihat apakah model pengasuhan yang berbasis pada budaya tertentu (Jawa), interaksi
antarteman sebaya dalam etnis yang sama, kematangan status identitas individu serta
orientasi nilai berkontribusi terhadap pembentukan kepercayaan eksistensial remaja etnis
Jawa. Oleh karena itu, berdasar pada konsep teoritik dibangun sebuah model konseptual
yang diajukan sebagai tema penelitian.
Terkait dengan model konseptual, ternyata dari hasil analisis diketahui bahwa
model teoritik yang diajukan sesuai dengan data empiris di lapangan (harga kai-kuadrat
emperis 0,061, batas penerimaan 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa faktor-faktor pola
asuh orang tua, interaksi teman sebaya, status identitas, dan orientasi nilai budaya dapat
digunakan untuk menjelaskan kepercayaan eksistensial remaja Jawa di lokasi penelitian.
Variabel-variabel tersebut secara bersama-sama memberi efek yang besar yaitu sebesar
0,71 atau sebanyak 71 persen dengan harga p= 0,05.
Dari hasil tersebut lebih jauh dapat dimaknai bahwa dalam proses pembentukan
kepercayaan eksistensial dalam diri individu harus memperhatikan pola asuh yang
diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya, interaksi anak dengan teman sebayanya,

22

kematangan identitas, serta orientasi nilai budaya. Artinya, untuk membangkitkan
keimanan dalam diri individu anak, unsur-unsur tersebut berperan penting.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa pola asuh orang tua yang meliputi pola asuh
mendorong, pola asuh menghambat dan pola asuh membiarkan menunjukkan adanya efek
langsung ataupun tidak langsung terhadap kepercayaan eksistensial. Efek tidak langsung
pola asuh orang tua terhadap kepercayaan eksistensial anak terjadi melalui orientasi nilai
budaya dan status identitas.
Secara deskriptif ternyata rerata empiris pola asuh mendorong lebih tinggi
dibanding pola asuh menghambat dan pola asuh membiarkan. Dengan demikian, secara
kuantitatif dapat dinyatakan bahwa model pola asuh yang banyak dikembangkan pada
keluarga Jawa di lokasi penelitian adalah pola asuh yang mendorong, jika dibandingkan
dengan model pola asuh yang menghambat ataupun yang membiarkan.
Dari model pola asuh yang diteliti pada subjek di lokasi penelitian membuktikan
bahwa pola asuh mendorong yang diterapkan dalam keluarga Jawa ternyata memiliki efek
positif yang signifikan terhadap aspek pengakuan terhadap eksistensi adanya Tuhan, dan
aspek komitmen pada ajaran agama. Adapun pola asuh menghambat dan pola asuh
membiarkan justru sebaliknya memiliki efek yang negatif terhadap aspek pengakuan
terhadap eksistensi adanya Tuhan, dan tidak berpengaruh terhadap komitmen ajaran
agama.
Dengan begitu semakin tinggi model pola asuh mendorong yang diterapkan oleh
orang tua, akan semakin tinggi tingkat kepercayaan eksistensial remaja. Sebaliknya,
semakin tinggi model pola asuh yang menghambat atau yang membiarkan akan semakin
rendah tingkat kepercayaan eksistensial remaja. Semakin rendah model pola asuh
mendorong yang diterapkan, maka muncul kecenderungan orang tua tersebut menerapkan
pola asuh menghambat atau membiarkan yang relatif tinggi.

23

Harus dipahami bahwa pada kenyataan empiris akan terasa sulit untuk secara
kategoris menentukan seseorang dalam model pola asuh tertentu. Dalam situasi ini hanya
dapat dicermati dari sisi kecenderungan-kecenderungan perilaku orang tua dalam
mengasuh anak-anaknya, dan hal itu tidak bersifat permanen. Artinya, jika muncul
pertanyaan mungkinkah membuat kategoris empiris dengan model pola asuh yang
diterapkan para orang tua, maka jawabannya adalah relatif. Jika sebuah kecenderungan
yang muncul permanen, maka dapat dinyatakan bahwa model pola asuh yang
bersangkutan akan merujuk pada pola tertentu. Namun harus dipahami bahwa dalam
aktivitas pola asuh selalu terjadi fluktuasi perilaku yang situasional.
Secara umum yang terjadi adalah, muncul kecenderungan pewarisan model pola
asuh yang diterapkan orang tua kepada anak (ego), yang kemudian akan diwariskan
kepada anaknya (anak ego). Meski tidak seluruhnya model pola asuh yang diterima
individu akan diterapkan pada diri anaknya, tetapi persentasenya akan relatif tinggi jika
dilakukan pengukuran tentang itu.
Simpulan lebih jauh dari pernyataan ini adalah, di mana pun orang Jawa berada,
maka akan muncul kecenderungan pola asuh yang sama, sebagaimana diterapkan etnis
Jawa di lokasi aslinya. Di sini muncul adanya intervensi kultur secara tidak sengaja yang
dialami setiap individu Jawa. Siapa pun dan di mana pun individu Jawa berada akan tetap
merasakan nilai-nilai kejawaannya, meski sedikit.
Dalam masyarakat Jawa, pewarisan nilai budaya dilakukan bersamaan mereka
mengasuh anak. Dari hasil observasi dan wawancara dengan beberapa orang tua di lokasi
penelitian, para orang tua subjek mengaku bahwa model mereka mengasuh anak-anak
tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka terima dari orang tua mereka. Jika ada hal
yang berbeda, menurut mereka hanya dari sisi tingkat kepatuhan anak pada orang tuanya.
Kepatuhan mereka dengan para orang tua mereka dahulu dibarengi dengan rasa takut,

24

sementara kepatuhan anak-anak dengan mereka bukan didorong rasa takut. Pada banyak
kasus para orang tua subjek penelitian melakukan adopsi pola pengasuhan anak dari para
orang tua mereka. Barangkali sisi inilah yang terus menjadikan keberlangsungan budaya
pada masyarakat Jawa.
Dari model yang dibangun tersebut ternyata ada pola hubungan yang tidak
signifikan, yaitu antara pola asuh orang tua dengan status identitas. Dari hasil analisis
diketahui bahwa tidak ada efek langsung pola asuh identitas terhadap status identitas
remaja Jawa. Efek pola asuh terhadap status identitas terjadi secara tidak langsung yaitu
melalui orientasi nilai budaya.
Hal tersebut dapat dipahami, sebab pada kenyataan emperis saat anak memasuki
usia remaja, muncul kecenderungan anak untuk lebih lama menghabiskan waktu luangnya
bersama teman-temannya. Situasi inilah yang memungkinkan munculnya peralihan peran
dominan dari orang tua kepada teman sebayanya.
Kenyataan empiris saat memasuki awal-awal remaja, seorang anak akan merasa
nyaman jika diterima di kalangan teman sebayanya. Untuk mewujudkan keinginan itu,
maka banyak upaya yang harus dilakukan individu, termasuk di dalamnya ”sedikit”
melanggar pesan-pesan dari oang tuanya. Kedekatan relasional anak dengan teman
sebayanya pada masa remaja melebihi kedekatan mereka dengan orang tua mereka sendiri.
Keeratan hubungan relasional antara interaksi antarteman sebaya dengan status
identitas setidaknya tercermin dari adanya efek langsung dan efek tidak langsung interaksi
teman sebaya terhadap status identitas. Besar efek langsung interaksi teman sebaya
terhadap status identitas adalah 27 persen (gamma= 0,27, p=0,05), sedangkan efek
langsung pola asuh orang tua terhadap status identitas adalah sebesar 16 persen (gamma=
0,16, p>0,05). Secara statistik terlihat betapa interaksi antarteman sebaya memberi efek
hampir dua kali dari efek yang diberikan oleh pola asuh orang tua. Dari hasil ini

25

setidaknya mengisyaratkan bahwa pembentukan identitas diri, remaja lebih banyak
dipengaruhi teman sebayanya dibanding dengan orang tua mereka.
Hasil penelitian ini secara jelas merekomendasikan pentingnya posisi teman
sebaya setelah kedudukan orang tua. Interaksi dengan teman sebaya akan menyediakan
peluang untuk belajar cara berinteraksi dengan teman seusianya, untuk mengontrol
perilaku sosial, untuk mengembangkan keterampilan dan minat yang sesuai dengan usia
dan untuk saling membagi persoalan atau perasaan yang sama, termasuk di dalamnya
adalah dalam hal kepercayaan yang dianut mereka.
Secara lebih terinci diketahui bahwa interaksi teman sebaya berpengaruh negatif
terhadap status identitas difusi. Hal ini dapat dimaknai bahwa semakin baik interaksi yang
berlangsung di antara remaja, maka akan mengurangi status difusi remaja yang
bersangkutan. Artinya, situasi interaksi teman sebaya yang saling mendukung, saling
memberi dan menerima nilai-nilai positif akan dapat mengurangi krisis saat remaja
tertutama dalam hal ketidak-mampuan membuat komitmen (difusi), sebaliknya interaksi
remaja yang negatif justru akan meningkatkan status difusi, yang membuat remaja tidak
dapat mengatasi krisis yang dialaminya.
Hasil penelitian ini juga menemukan adanya pengaruh positif yang signifikan
interaksi teman sebaya terhadap status identitas foreclosure dan status identitas
achievement-nya. Nilai t tertinggi pengaruh interaksi teman sebaya tampak pada status
identitas achievement dengan harga t sebesar 4,41, sementara untuk status identitas
foreclosure sebesar 4,10. Artinya, pada interaksi teman sebaya yang berlangsung positif
akan dengan sendirinya baik pula status identitas achievement-nya. Sebaliknya, interaksi
teman sebaya yang kurang baik akan menjadikan remaja kembali pada status sebelumnya
moratorium, foreclosure bahkan difusi, sebagaimana disinyalir oleh Marcia (1993) dengan
istilah MAMA cycles.

26

Penelitian ini secara tegas memposisi pentingnya teman sebaya setelah orang tua.
Teman sebaya merupakan orang yang sangat terpenting dalam kehidupan seseorang. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa dibandingkan interaksi dengan orang tuanya,
tampaknya interaksi dengan teman sebaya memberi peluang lebih banyak pada anak untuk
mengembangkan identitas mereka saat memasuki usia remaja (efek interaksi teman sebaya
terhadap pembentukan status identitas remaja hampir dua kali lebih besar jika
dibandingkan dengan efek pengasuhan orang tua terhadap status identitas). Hal ini berbeda
manakala mereka masih berusia anak-anak (praremaja) peran orang tua begitu dominan
dalam membentuk karakter anak. Setelah usia mereka memasuki remaja, peran tersebut
diambil oleh kelompok teman sebaya yang oleh Tittley (2001) dianggap pusat aktivitas
remaja.
Inilah yang menyebabkan lebih dominannya pengaruh teman sebaya terhadap
status identitas dibandingkan yang dapat dilakukan oleh variabel pola asuh orang tua.
Kedekatan anak pada masa remaja melebihi kedekatan mereka dengan orang tua mereka
sendiri. Proses identifikasi bahkan peleburan figur individu kerap terjadi dalam proses
interaksi antarteman sebaya. Muara dari itu semua adalah munculnya keinginan untuk
dapat dianggap sebagai bagian dari kelompoknya.
Sebagaimana dipaparkan pada hasil penelitian bahwa efek pola asuh terhadap
status identitas terjadi secara tidak langsung yaitu melalui orientasi nilai budaya.
Tampaknya dalam komunitas remaja Jawa di lokasi penelitian, meski tidak memiliki efek
secara langsung, orang tua masih tetap memiliki efek tidak langsung dalam pembentukan
identitas individu Jawa. Dari sini terlihat terjadi interaksi segitiga antara pola asuh orang
tua, orientasi nilai budaya dan status identitas. Jadi, meski saat di sekolah-sekolah para
remaja memperoleh materi bahasa Indonesia, namun kenyataan di lapangan dalam
berinteraksi dengan sesama, orang yang lebih tua atau saat berada di lingkungan rumah

27

mereka tetap menggunakan bahasa Jawa yang mencirikan sebagai orang Jawa. Artinya,
penanaman nilai bahwa dirinya orang Jawa, yang salah satunya dicirikan dengan
dominannya penggunaan bahasa Jawa, yang dilakukan pada saat usia anak-anak menjadi
penting dilakukan sejak dini.Seorang individu Jawa akan merasa sangat susah bila ada
yang menyatakan dirinya ”durung Jawa” atau ”ora nJawani”.
Hal ini bermakna karena dirinya dianggap sebagai bukan komunitas masyarakat
Jawa, yang secara langsung telah menghilangkan identitasnya. Makna lebih dalam dari
kalimat tersebut adalah individu yang diberi label tersebut berarti tidak memahami adat
istitadat dan kebudayaan Jawa, serta memiliki tingkah laku yang tidak sesuai dengan
tuntutan masyarakat Jawa sebagai komunitasnya. Dengan begitu setiap individu Jawa akan
berusaha untuk tidak disebut ”durung Jawa” atau ”ora nJawani”. Rasa susah tersebut
sebenarnya bukan hanya milik individu sendiri, tetapi juga meluas pada orang tua mereka.
Oleh kerena itu, banyak upaya yang dilakukan para orang tua untuk mengubah anaknya
dari yang ”durung Jawa” atau ”ora nJawani” menjadi lebih ”Jawa”. Pada sisi ini orang
tua akan mengingatkan sang anak dengan norma, ataupun adat istiadat serta budaya Jawa.
Sementara itu, terkait dengan orientasi nilai budaya, hasil penelitian ini
menunjukkan adanya efek langsung dan efek tidak langsung orientasi nilai budaya yang
dimiliki remaja terhadap kepercayaan eksistensial. Efek tidak langsung orientasi nilai
budaya terhadap kepercayaan eksistensial terjadi melalui status identitas. Besar efek
langsung ataupun tidak langsung untuk interaksi orientasi nilai budaya dan kepercayaan
eksistensial adalah sebesar 20 persen p= 0,05.
Orientasi nilai budaya, status identitas dan kepercayaan eksistensial ibarat sebuah
segitiga besar lain bagi orang Jawa. Untuk menunjukkan dirinya, terkadang sulit dilakukan
oleh orang Jawa dalam menonjolkan dirinya atau agamanya atau budayanya. Gambaran
situasi tersebut sebagaimana dirasakan oleh Sosrokartono (dalam Aksan, 1997) yang

28

mengungkapkan “ingkang kulo tansah mantepi, (1) agami kulo lan (2) kejawen kulo,
inggih bab kalih puniko ingkang kulo luhuraken”.
Tampaknya tidak ada pilihan untuk memilih salah satu, sehingga bagi seorang
Jawa jika dihadapkan pada pilihan untuk memilih mana yang terbaik untuk memilih agama
ataukah budayanya, maka kecenderungan yang muncul adalah dengan mengambil jalan
tengah, yaitu menjalankan keduanya, sebagaimana ungkapan Sosrokartono di atas. Hal ini
karena bagi orang Jawa relasi antara nilai budaya, status identitas dengan agama begitu
dekat, mengambil salah satu sama saja menghilangkan identitas kediriannya.
Pada sisi tersebut dapat dipahami mengapa di lokasi penelitian masih terjadi
adanya upacara-upacara yang diikuti oleh seluruh warga dengan tanpa membedakan
agama. Namun, jika dilihat dari ritualnya terjadi campuran antara budaya Hindu, Islam dan
budaya Jawa. Sebut saja seperti ritual nyadran yang dimaksudkan sebagai ritual bersih
desa, atau ritual untuk memulai panen yang disebut dengan upacara wiwit. Di sini terlihat
bahwa terkadang agama diabaikan dalam persoalan budaya. Orang Jawa tidak lagi
mempersoalkan siapa beragama apa, tetapi yang lebih penting adalah dia orang Jawa.

IV. Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan analisis data, pengujian hipotesis dan pembahasan hasil penelitian ada
beberapa simpulan dari temuan penelitian yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Perkembangan kepercayaan eksistensial tidak berkembang searah perkembangan usia
kronologis;
2. model yang diajukan fit dengan data empirik di lapangan;
3. Pola asuh orang tua tidak memiliki efek langsung terhadap status identitas. Efek pola
asuh orang tua terhadap status identitas terjadi secara tidak langsung yaitu melalui

29

orientasi nilai budaya. Pola asuh orang tua memiliki efek langsung ataupun tidak
langsung terhadap kepercayaan eksistensial remaja. Efek tidak langsung pola asuh
orang tua terhadap kepercayaan eksistensial terjadi melalui orientasi nilai budaya,
dan status identitas;
4. Interaksi teman sebaya memiliki efek langsung ataupun tidak langsung terhadap status
identitas, kepercayaan eksistensial remaja dan orientasi nilai budaya. Selain itu,juga
diketahui adanya efek tidak langsung interaksi teman sebaya terhadap kepercayaan
eksistensial remaja melalui status identitas dan orientasi nilai budaya, sedangkan efek
tidak langsung interaksi teman sebaya terhadap status identitas melalui orientasi nilai
budaya;
5. Orientasi nilai budaya memiliki efek positif yang signifikan terhadap status identitas.
Selain itu, orientasi nilai budaya memiliki efek positif yang signifikan baik langsung
ataupun tidak langsung terhadap kepercayaan eksistensial. Efek tidak langsung
orientasi nilai budaya terhadap kepercayaan eksistensial terjadi melalui status
identitas;
6. Hasil penelitian ini menunjukkan interaksi segitiga antara interaksi teman sebaya,
orientasi nilai budaya dan status identitas
7. Interaksi segitiga lainnya muncul dalam interaksi antara orientasi nilai budaya, status
identitas dan kepercayaan eksistensial. Inilah yang menyebabkan mengapa orang Jawa
terasa sulit untuk menentukan secara baik dalam hal memilih antara budaya dan agama
sebagai jati dirinya. Pilihan yang mungkin sebagaimana selama ini ditempuh
masyarakat Jawa adalah menggabungkan keduanya, yang oleh masyarakat pada
umumnya dikenal sebagai “kejawen”, yaitu sinkritisme antara budaya dan agama.



30

B. Saran
Dengan melihat konteks permasalahan yang ada di lokasi penelitian, serta
membandingkannya dengan kondisi masyarakat Indonesia, ada temuan yang dapat
digeneralisasi secara lebih luas, yaitu bahwa perkembangan kepercayaan eksistensial tidak
sejalan dengan perkembangan usia. Berdasarkan temuan yang telah dipaparkan, ada
beberapa hal yang dapat disarankan seperti diuraikan di bawah ini.
1. Ditemukannya efek yang signifikan pola asuh orang tua baik secara langsung dan tidak
langsung dalam pembentukan kepercayaan eksistensial, menunjukkan masih
terdapatnya identifikasi anak terhadap orang tua dalam hal beragama. Hal ini berarti
bahwa dalam proses beragama, anak masih tetap mengikuti perilaku yang ditunjukkan
orang tuanya. Jadi perlu adanya contoh dari orang tua dalam melaksanakan ajaran
agama.
2. Dalam penelitian ini ditunjukkan efek positif teman sebaya terhadap status identitas,
kepercayaan eksistensial dan orientasi nilai budaya. Untuk itu, orang tua harus
mendorong anaknya untuk berinteraksi dengan teman sebaya yang dapat membangun
jati diri, memberi informasi dan orientasi nilai budaya, serta membangun dan
meneguhkan kepercayaan eksistensial yang dimiliki anak.
3. Untuk orang tua perlu mendorong dan membantu anak saat menghadapi masa krisis
antara masa anak dan masa remaja. Dukungan dan peranan orang tua sangat
dibutuhkan agar anak dapat menyelesaikan masa krisis secara lebih baik dan tuntas.
4. Bagi peneliti lanjut dapat mengembangkan tema penelitian misalnya dengan melihat
perbedaan dari faktor demografis (jenis kelamin, asal subjek, pendidikan),
mengkaitkan dengan faktor eksogen ataupun endogen lain yang terkait dengan faktor
individu ataupun faktor sosial remaja.

31

5. Lazimnya perbedaan budaya membawa perbedaan pula dalam pola asuh, interaksi
antar teman, pembentukan status identitas, kepercayaan eksistensial ataupun orientasi
nilai budaya seseorang. Dengan begitu, penelitian bertema lintas budaya menjadi salah
satu tema yang dapat dikembangkan secara lebih lanjut. Kajian bertema psikologi etnis
tampaknya belum banyak dilakukan kalangan peminat psikologi ataupun kaum
antropolog, sehingga mengawinkan dua pendekatan keilmuan dalam kajian seperti di
atas, tentunya akan menjadikan penelitian tersebut kaya warna.
6. Tema dalam penelitian ini didekati dengan model pendekatan kuantitatif. Diyakini
bahwa masih banyak hal lain yang memang belum terungkap dengan hanya sekadar
menggunakan pendekatan kuantitatif ini, untuk itu penggunaan penggunaan metode
kualitatif sangat disarankan untuk lebih memperdalam temuan-temuan di lapangan.
Alternatif lain adalah dengan melakukan mixing method yang menggabungkan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif secara terpadu diharapkan dapat lebih banyak
memberi informasi tentang tema yang diteliti. Kepada para peneliti lanjut dapat
mencobakan pendekatan gabungan tersebut untuk meneliti tema yang hampir sama.
[©M.Idrus2005]










32

Pustaka Acuan
Aksan. (1995). Ilmu dan Laku Drs. RMP. Sosrokartono. Surabaya: PT. Citra Jaya Murti.

Bennion, L. & Adams, G.R. (1986). A Revision of the Extended Version of the Objective
Measure of Ego Identity Status: An Identity Instrument for use with late
Adolescents. Journal of Adolescent Research, I, 183-198.

Berryman, J. (1978). Introduction: The Life/Faith Journey. In Keen, S. and Fowler, J.
(Ed.). Life maps: Conversations on the Journey of Faith P.4-13.

Craig, G. J. (1980). Human Development. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall,
Inc.

Cremers, A. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W.
Fowler: Sebuah Gagasan Baru dalam Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Cremers, A. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W.
Fowler: Sebuah Gagasan Baru dalam Psikologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Erikson, E.H. (1963). Childhood and Society. (Second Edition). New York: W.W. Norton
& Company. Inc.

Erikson, E.H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: W.W. Norton & Company.
Inc.

Ferdinand, A. (2000). Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Fowler, J. (1978). Life Faith Patterns: Structural of Trust and Loyalty. Dalam Fowler, J., &
Keen, S. (Eds.). Life Maps: Conversations on the Journey of Faith. Edited by
Jerome Berryman. Waco, Texas: Word Books Publisher: 14-101.

Fowler, J. W. (1981). Stages of Faith: The Psychology of Human Development and the
Quest for Meaning. New York: Harper & Row Publishers.

Fowler, J. W . (1982). Theology and Psychology in the Study of Faith Development. In
Kepnes, S., Tracy, D. (Eds.). The Challenge of Psychology to Faith. Edinburgh:
T. & T. Clark LTD: 87-90.

Fowler, J. W. (1988). The Enlightenment and Faith Development Theory. Journal of
Empirical Theology.1(1988)1: 29-42.

Fowler, J. W. (1995). Teori Perkembangan Kepercayaan. Alih Bahasa Agus Cremers.
Editor A. Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.

Garbarino, J. & Benn, J.L., (1992). The Ecology of Childbearing and Child Rearing, In
Garbarino, J. (Eds.). Children and Families in the Social Environment, 2nd
Editon. Pp. 133-178. New York: Aldine de Gruyt

33

Geertz, C. (1961). Religion of Java. London: Collier McMillan.

Geertz, H. (1983). Keluarga Jawa. Penerjemah Hersri. Jakarta: Grafiti Pers.

Hamner, T.J., & Turner, P.H., (1996). Parenting in Contemporary Society. Third Edition.
Boston: Allyn & Bacon.

Hauser, S.T., Powers, S.I., Noam, G.G., & Jacobson, A.M., (1984). Familial Contexts of
Adolescent Ego Development. Child Development. 55, 195-213.

Josselson, R. (1994). The Theory of Identity Development and the Question of
Intervention: An Introduction. In Archer S.L. (Ed.). Interventions for
Adolescent Identity Development. Thousand Oaks, California: Sage
Publications.

Koentjaraningrat.. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN. Balai Pustaka.

Kohn, M.L., (1971). Social Class and Parent child Relationship: an Interpretation
Reading in Adolescent Psychology. Minneapolis Minnesota: Burges Publishing
Company.

Magnis-Suseno, F. (1984). Etika Jawa: Seubah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa: Jakarta: PT. Gramedia.

Marcia, J.E. (1980). Identity in Adolescence. Dalam Joseph Adelson (Eds.). Handbook of
Adolescence Psychology. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Marcia, J.E. (1993). the Ego Identity Status Approach to Ego Identity. In Marcia. J.E.,
Waterman, A.s., Matteson, D.R., Archer, S.L., Orlofsky, J.L. (1993). Ego
Identity: A Handbook for Psychosocial Research. Pp 3-21. New York: Springer
– Verlag.

Marcia, J.E. (1994). Identity and Psychotherapy. In Archer S.L. (Ed.).Interventions for
Adolescent Identity Development. Pp 29-46. Thousand Oaks, California: Sage
Publications.

Mulder, N., (1986). Pribadi dan Masyarat di Jawa. Jakarta : Sinar Harapan.

Mussen, P.H., Conger, J.J., & Kagan, J.(1984). Child Development and Personality. New
York: Harper & Row Publishers, Inc.

Nancy, D., (1999). Parenting Style and Its Correlates. Retrieved February, 8, 2003. From
the World Wide Web:http://www.ericfacility.net/ericdigests/ed427896.html

Tittley, M., (2001). Youth and Discipleship in the Commitment Level Model. Retrieved
November 10, 2001. From the World Wide Web:
http://www.youth.co.za/model/ages/htm


34

Walgito, B. (1978). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Jakarta: Andi Offset.

Waterman, A. S. (1993). Developmental Perspectives on Identity Formation: From
Adolescence to Adulthood. In Marcia. J.E., Waterman, A.s., Matteson, D.R.,
Archer, S.L., Orlofsky, J.L. (1993). Ego Identity: A Handbook for Psychosocial
Research. Pp 42-68. New York: Springer – Verlag.


35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar