Jumat, 08 Juli 2011

MAKALAH BAHASA INDONESIA

KAJIAN KARYA SASTRA BERDASARKAN PERSPEKTIF
FEMINISME SEBAGAI PIJAKAN PENGEMBANGAN
PEMBELAJARAN SASTRA YANG BERORIENTASI GENDER

Dedi Heryadi*

Abstrak: Gerakan kaum wanita dalam menentang paham patriarkhi terus bergejolak
melalui berbagai aktiVitas kehidupan sosial. Salah satu hal yang cukup menarik yaitu
munculnya gerakan kaum wanita dalam menentang paham patriarki melalui sorotan
pada karya sastra. Mereka memandang bahwa karya sastra merupakan cerminan
kehidupan sosial pada latar di mana karya sastra itu dilahirkan. Model gerakan ini
tampaknya sangat efektif dalam upaya menyadarkan semua pihak untuk memahami
dan mengaplikasikan dalam kehidupan bahwa masalah gender bukanlah alat untuk
memilah kaum lemah dan kuat melainkan suatu kodrati yang harus menjadi dasar
hidup saling membutuhkan dan berperan secara proporsional. Salah satu kasus karya
sastra yang cukup menarik dikaji berdasarkan perspektif feminisme adalah novel
berjudul “Women at Point Zero” karya seorang sastrawan wanita Mesir yang
bernama Nawal el-Sadawi. Novel ini menggambarkan fenomena kehidupan wanita
sebagai korban paham patriarkhi. Bagi dunia pembelajaran sastra hasil kajian
model ini sangat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis
hasil kajian ini bermanfaat sebagai pemerkaya teori sastra yang sudah ada dan
secara praktis (khusus untuk pengajaran sastra) dapat dijadikan pola dan pijakan
pengembangan model pembelajaran sastra yang berorientasi pada penumbuhan
sikap kesadaran pembelajar dalam menghadapi isu-isu gender yang sedang merebak
dalam kehidupan umat manusia saat ini.

Kata kunci: feminisme, patriarkhi, karya sastra, bahan ajar sastra, isu gender



1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak abad kesembilan belas perjuangan kaum wanita menentang penindasan
paham patriarkhi sudah menggema di muka bumi. Kaum perempuan menganggap
bahwa pendiskriminasian hak untuk kaum wanita sangat tampak. Kaum wanita dalam

*
Dr. H. Dedi Heryadi, M.Pd. adalah dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP
Universitas Siliwangi Tasikmalaya

1
kondisi yang teraniaya dan dianggap sebagai kaum lemah sehingga tidak layak untuk
hidup berprestasi setara atau berada di atas kaum pria. Kaum wanita mendam-bakan
semua pihak (pria dan wanita) memahami dan memaklumi bahwa kondisi gender
harus disikapi sebagai kodrat Illahi, bukan sebagai dasar untuk menentukan kaum
lemah dan kuat sehingga mempengaruhi pada hak-hak hidup yang dapat
diperolehnya.
Upaya-upaya gerakan kaum wanita seperti digambarkan di atas pada akhir
abad kedua puluh merambah pada dunia kesusastraan. Kajian karya sastra dengan
perspektif feminisme berupaya menggambarkan nasib kaum wanita yang selalu
teraniaya. Dengan penggambaran demikian tujuan kajian lebih terfokus pada
pembuktian dan peyakinan bagi para pencinta sastra bahwa paham patriarki masih
menjadi dasar atau pola kehidupan sosial. Dampak pemahaman terhadap hasil kajian
tersebut adalah para pembaca dan pencinta sastra sadar dan tergugah untuk
mengubah pola kehidupan sosial yang dirasa kurang adil. Mereka (para pejuang
kaum feminisme) men-nyarankan bahwa gender jangan dianggap sebagai
paramater yang lebih bersifat hakiki dan statis yang melemahkan komunitas
perempuan, tetapi merupakan fenomina sosial yang melahirkan interpretasi-interpretasi yang belum tentu kebenarannya.
Di Mesir terbit sebuah novel berjudul Women at Point Zero buah karya
sastrawan wanita yang bernama Nawal el-Sadawi. Di dalam novel tersebut, pengarang
menggambarkan liku-liku seorang perempuan yang menjadi korban paham patriarki.
Ia (pengarang) terinspirasi oleh kebobrokan sikap memperlakukan wanita yang masih
terjadi di Mesir sebagai negara muslim yang dikategorikan termaju dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi , dan kebudayaan. Hak-hak perempuan masih
2
dinomorduakan dan pelecehan seksual dengan tidak pandang posisi dan hubungan
keluarga kerap dilakukan oleh kaum pria.
Jika dilihat baik dari segi latar, pengarang, dan isi yang diceritakan, novel ini sangat
menarik untuk dikaji dengan menggunakan perspektif feminis. Di dalam novel ini
banyak model-model patriarki yang masih sering dilakukan oleh kaum pria di negara
Mesir serta bentuk-bentuk reaksi yang dilakukan oleh kaum teraniaya (wanita yang
menjadi tokoh) dalam melawan kekejaman yang dihadapinya. Materi yang
digambarkan dalam novel tersebut cukup relevan dihubungkan dengan isu-isu gender
yang ada di Indonesia. Dewasa ini begitu kerap pemberitaan baik melalui
media elektronik, maupun media cetak tentang pelecehan seksual dan pelecehan hak
terhadap kaum wanita di Indonesia.
Di samping ketertarikan dari sudut latar dan isi, penganalisisan berdasarkan
perspektif feminis pada karya sastra novel Women at Point Zero sangat penting
sebagai upaya dalam mendukung munculnya metode baru dalam kritik sastra. Di
lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia dewasa ini guru banyak yang terbelenggu
oleh kajian sastra strukturalisme sehingga tidak mustahil jika hasil pembelajaran
sastra kurang menyentuh bagi pembelajaran moral.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kajian feminisme terhadap
sastra masih merupakan model media gerakan sosial kaum wanita dalam menentang
paham patriakhi. Untuk menjadi teori kajian sastra yang mandiri serta menjadi bahan
ajar dalam pembelajaran sastra yang berfungsi sebagai wahana penumbuhan
kesadaran pembelajar tentang masalah gender di Indonesia, kajian feminisme perlu
mendapat dukungan yang serius dari para pemerhati dan kritikus sastra.
3
1.2 Rumusan Masalah
Novel berjudul Women at Point Zero merupakan salah satu karya sastra yang
dibuat oleh sastrawan wanita berkebangsaan Mesir. Karya sastra tersebut sarat
dengan liku-liku penderitaan kehidupan kaum wanita sebagai pengaruh kuatnya
paham patriarki di tempat yang menjadi latar cerita tersebut. Sebagai masalah dalam
penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan seperti berikut.
1. Model-model dominasi patriarkhi bagaimana yang digambarkan dalam karya
sastra (seperti kasus dalam novel berjudul Women at Point Zero)?
2. Reaksi seperti apa yang dilakukan oleh wanita (khususnya yang diwakili oleh
tokoh utama) dalam menghadapi model-model dominasi patriarkhi dalam
kehidupan sosial yang dirasakannya ?
3. Efektifkah hasil kajian feminisme karya sastra terhadap dunia pembelajaran
sastra Indonesia yang difungsikan untuk menyadarkan pembelajar tentang
masalah gender di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang dirumuskan tujuan penelitian adalah sebagai
berikut.
1. Untuk menggambarkan model-model dominasi patriarkhi terhadap kaum
wanita yang terdapat pada karya sastra (seperti kasus pada novel berjudul
Women at Point Zero karya Nawal el-Sadawi).
2. Untuk mengaktualisasikan sikap kaum wanita (khususnya yang diwakili oleh
tokoh utama) dalam menghadapi dominasi patriarkhi dalam kehidupan sosial.
4
3. Untuk menjelaskan keefektifan hasil kajian feminisme untuk dunia
pembelajaran sastra Indonesia yang difungsikan dalam menyadarkan
pembelajar tentang masalah gender di Indonesia.

2. Kajian Literatur
Feminisme adalah gerakan kaum wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 1994). Gerakan ini muncul akibat
ketidakpuasan kaum wanita atas paham patriarkhi yang bertolak pada lima fokus
pokok pandangan masyarakat yang sudah bersifat universal, yaitu biologis,
pengalaman, wacana, ketaksadaran, kondisi sosial dan ekonomi (Beauvoir, dalam
Selden, 1996).
Fokus pertama, dari segi biologis tertanam suatu pandangan Tota mulier in
utero yang artinya wanita tiada lain adalah suatu kandungan. Dengan kondisi biologis
demikian pandangan universal menganggap bahwa wanita sebaiknya menyadari atas
kodratnya. Kaum feminisme menolak anggapan tersebut; bahkan menganggap wanita
adalah atribut biologis yang merupakan sumber keunggulan daripada kerendahan
(inferioritas), dan secara khusus adalah sumber positif dalam kehidupan dan seni.
Fokus kedua, dari segi pengalaman wanita mempunyai pengalaman hidup yang lebih
khusus yaitu ovulasi, mensturasi, dan melahirkan. Kejadian-kejadian itu hanya wanita
yang memahami. Di samping itu, wanita memiliki pengalaman persepsi dan
kehidupan emosi yang berbeda dengan pria, misalnya tentang apa yang penting
dan tidak penting. Dalam hal ini pria dianggap memiliki ide yang lebih banyak
sementara perempuan memiliki emosi yang cukup tinggi. Menyikapi pandangan- 5
pandangan yang berkaitan dengan pengalaman ini muncul tulisan-tulisan wanita
tentang sastra yang bernada kritik yang dikenal dengan sebutan gynokritika.
Fokus ketiga yang mendapat perhatian feminis yaitu segi wacana. Dale
Spender (dalam Selden, 1996) menganggap bahwa wanita secara mendasar ditindas
oleh bahasa pria. Kita menerima alasan bahwa apa yang benar bergantung pada siapa
yang menguasai wacana sehingga wajar jika dominasi wacana oleh kaum pria telah
memerangkap kebenaran wanita di dalam kebenaran pria. Dari sudut pandang ini, ada
alasan bagi para penulis (sastrawan) wanita untuk menentang penguasaan bahasa oleh
kaum pria daripada hanya mundur ke ghetto wacana feminin. Kritikus feminin
memandang bahwa para wanita sesungguhnya telah dicuci otaknya oleh tife ideology
patriarkhi yang menghasilkan gambaran streotipe pria yang kuat dan perempuan yang
lemah.
Fokus keempat terjadinya gerakan wanita disebut gerakan ketaksadaran.
Istilah ini muncul dalam teori psikoanalitik Lacan dan Kristeva. Beberapa kritikus
feminis telah mendobrak biologisme dengan mengasosiasikan wanita dengan proses
yang cenderung meruntuhkan autoritas wacana pria. Di sini seksualitas wanita lebih
bersifat revolusioner, subversif, dan terbuka. Model kritikan seperti ini menurut Lacan
(dalam Selden, 1996) kurang tampak membawa resiko pensetreotipan, karena
pendekatan ini menolak pendefinisian kodrat seksualitas wanita. Pandangan Lacan
tersebut mendapat reakasi dan emosi yang cukup besar dari kaum wanita. Kaum
wanita menganggap bahwa pandangan itu hanya pemikiran yang sempit dan
menguatkan kebudayaan yang ada.
Fokus kelima yaitu munculnya dimensi sosiologi yang dimotori oleh kaum
marxis dalam kritik kehidupan masyarakat yang difokuskan pada bidang sosial dan
6
ekonomi. Kaum marxis mencoba menghubungkan perubahan kondisi sosial dan
ekonomi
dengan perubahan imbangan kekuatan di antara kedua jenis kelamin. Mereka (kaum
marxis) sangat setutju dengan gerakan-grakan kaum wanita dalam menolak
paham hakikat gender yang uniersal. Dengan munculnya pandangan marxis seperti
demikian kaum feminin lebih bersemangat untuk melanjutkan gerakan membela
haknya.
Seiring dengan perkembangan gerakan feminis dalam membela haknya dalam
bidang sastra muncul tokoh-tokoh feminisme yang memanfaatkan sastra sebagai
media usahanya. Beberapa tokoh yang cukup terkenal melakukan pergerakan
feminisme yang pandangannya dijadikan pijakan kajian karya sastra di antaranya
yaitu Simone de’ Beauvoir, Kate Millet, dan Germaine Greer. Seorang filsuf Perancis
yang bernama de’ Beauvoir ( 1949, dan dalam Mulyati, 2003) menaruh perhatian
pada studi tentang pe-nindasan perempuan dan konstruksi feminitas oleh kaum
laki-laki. Menurutnya, gambaran mitos yang berdasar pada psikologi, sejarah, dan
biologi hanyalah mitos-mitos buatan manusia. Mitos-mitos tersebut menempatkan
perempuan sebagai obyek pasif yang berbeda dari laki-laki. Perbedaan laki-laki dan
perempuan menurut de’Bevouir hanyalah berdasarkan persetujuan masyarakat
melalui penjelasan karakteristik biologisnya, namun penjelasannya tidak pernah tepat.
Gambaran perempuan yang saat ini ada hanyalah mitos yang diciptakan laki-laki.
Millet ( 1977, dan dalam Mulyati, 2003) sebagai tokoh feminis Amerika
memfokuskan pandangannya pada sudut ideologi. Ia berpendapat bahwa kesusastraan
merupakan dokumen dari kesadaran kolektif kaum patriarkis. Perubahan seksualitas
dalam karya sastra dapat terjadi atas tiga hal, yaitu (1) para lelaki membangun
7
karakter kaumnya dari kaum perempuan, (2) para penulis tidak menggambarkan
seksualitas dengan gabungan penyimpangan feminitas, dan (3) struktur fiksi
merupakan lukisan dari budaya laki-laki. Tokoh feminis yang bernama Greer (dalam
Mulyati, 2003 dan Selden, 1996) memainkan peranan penting dalam mendorong
kesadaran media (karya sastra) terhadap penindasan kaum wanita. Ia membuat
analisis ideologis mengenai aspek-aspek misogini dalam budaya daripada
menciptakan metode atau agenda untuk feminisme, dan menolak untuk
membedakan gambaran dalam gender, melainkan menyatukannya dalam dalam
pendekatan yang tidak berkelas.
Memperhatikan tiga pandangan tokoh di atas, dapat ditarik suatu simpulan
bahwa masalah gender tidak tepat dijadikan dasar untuk memilah-milah hak dalam
kehidupan sosial, karena gender lebih bersifat kodrati yang dianugrahkan Tuhan;
sementara munculnya pendikotomian yang merembet pada hak-hak kehidupan
merupakan dampak dari penafsiran-penafsiran yang belum tentu kebenarannya.
Dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita mereka (ketiga tokoh tersebut)
menggunakan media kajian karya sastra, karena karya sastra sebagai bentuk ekspresi
gejolak pemikiran pengarang yang terinspirasi oleh peristiwa-peristiwa yang
dirasakan, dilihat, diraba, didengar, dan dicium.
Munculnya gerakan sosial kaum wanita melalui media kajian sastra ternyata
mempengaruhi pemikiran-pemikiran para pengamat dan pengkaji karya sastra di
Indonesia. Menurut Mulyati (2003) terdapat beberapa pengamat dengan berbekalkan
dasar-dasar teori feminisme mencoba mengkaji karya sastra, di antaranya adalah (1)
Soenaryati Djayanegara menganalisis drama berjudul A Doll’s House karya Henrik
Ibsen, dan novel berjudul Daisy Miller karya Henry Jams; (2) I Wayan Artika (2002)
8
menganalisis empat novel karya A.A. Panji Tisna yang berjudul “Ni Rawit Ceti
Penjual Orang”, “Sukreni Gadis Bali”, “I Swasta Setahun di Bedahulu”, dan
“Imade Widiati Kembali kepada Tuhan”; dan (3) Sugihastuti Suharto mengkaji novel
“Siti Nurbaya”.
Seperti diakui oleh para pelopornya, teori kritik sastra feminis belumlah dapat
di-kategorikan ke dalam sebuah teori yang mapan seperti halnya teori-teori kritik
lainnya dalam studi sastra. Sebagaimana telah digambarkan di atas bahwa teori ini
lebih mencerminkan sebuah gerakan sosial yang dipicu oleh sebuah fenomena yang
dirasakan timpang dan tidak adil oleh kaum wanita. Dalam studi sastra, kehadiran
aliran ini bukanlah me-rupakan perwujudan reaksi atau salah satu bentuk terhadap
suatu aliran metode kritik sas-tra yang sudah ada sebelumnya. Tampaknya sampai
saat ini kritik sastra feminisme masihbelum mapan dan merupakan pelengkap kritik
sastra lainnya (Suharto, 2002). Memperhatikan kondisi posisi kritik feminis seperti
demikian, upaya untuk menjadikan model tersebut menjadi sebuah metode kritik
yang mandiri dan mapan masih perlu diupayakan. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan yaitu melalui peningkatan minat dan frekuensi penerapan metode kajian
sehingga dapat ditemukan dan disepakati metode kritik sastra feminis yang adekuat.
Para kritikus sastra fminisme mengibaratkan kritik sastra feminis dengan
istilah “quilt”. Quilt dijahit dan dibentuk dari potongan-potongan kain persegi yang
pada bagian bawahnya dilapisi dengan kain lembut. Pekerjaan ini bukan hanya
sekedar membutuhkan waktu lama, tetapi membutuhkan banyak pekerja. Metafor ini
mengeksplisitkan makna bahwa kritik sastra feminis serupa dengan alas quilt yang
sanggup menyatukan berbagai motif potongan kain yang bervariasi dan indah.
Sebagai alas, kritik sastra feminis berfungsi menyatukan pendirian bahwa seorang
9
wanita dapat membaca sebagai wanita, mengarang sebagai wanita, dan menafsirkan
karya sastra sebagai perempuan (Suharto, 2002).
Menurut Humm (2002) yang unik dalam teori feminisme adalah ketegasan
keterkaitan antara teori dan praktek, antara publik dan privat. Dalam feminisme teori
dan pengalaman mempunyai hubungan khusus yang dikemas dalam “the personal is
political”.
Dalam dunia pembelajaran sastra, kritik sastra feminis belum menjadi bagian
program kurikulum pendidikan bahasa dan sastra di lembaga-lembaga pendidikan
Indonesia. Teori strukturalisme masih menjadi pijakan pengembangan pembelajaran
sastra Indonesia. Kondisi ini, apabila dihubungkan dengan sasaran pembelajaran
sastra yang diprogramkan dalam kurikulum tampaknya sangat kontradiktif.
Pembelajaran sastra pada setiap lembaga pendidikan diarahkan untuk membangun
sikap moral yang baik melalui penggalian nilai-nilai positif yang terkandung dalam
karya sastra. Hal tersebut tercermin dalam tujuan pembelajaran sastra pada tingkat
dasar dan menengah yaitu siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra
untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa (Depdikbud, 1994). Teori
strukturalisme lebih menekankan pada pemahaman intern hubungan struktur
pembangun karya sastra, sementara hal-hal yang berhubungan dengan implikasi
nilai-nilai untuk kepentingan kehidupan di luar karya sastra tidak menjadi
pembahasan utama (Heryadi, 2003).
Nilai-nilai kehidupan yang tercermin dalam karya sastra merupakan bentuk
ekspresi kehidupan pengarang berdasarkan pengalaman hidup yang dirasakan, dicium,
dan dilihatnya. Oleh karena itu, sangatlah tepat jika nilai-nilai yang terkandung dalam
10
karya menjadi bahan kajian dalam hubungannya dengan kondisi kehidupan nyata,
sehingga orang yang membaca karya sastra tidak hanya memahami dan menikmati
jalan ceritanya, melainkan dapat mengambil nilai-nilai moral yang bermanfaat bagi
kehidupan bermasyarakat yang bermartabat. Kajian feminis karya sastra dalam
pembelajaran sastra dapat membangun kemampuan pembelajar akan nilai-nilai
kemanusian berdasarkan gender sehingga diharapkan muncul sikap moral saling
memahami dan menghargai hak-hak yang diembannya dalam kehidupan.

3. Metodologi Penelitian
3.1 Metode yang digunakan
Dalam pengkajian masalah yang dirumuskan peneliti bertolak pada
pendekatan kualitatif dengan menggunakan dua metode penelitian, yaitu metode
deskriptif analitis dan metode action research. Metode deskriptif analitis digunakan
dalam mengkaji masalah nomor satu dan dua, sedangkan metode action research
digunakan dalam mengkaji masalah nomor tiga.
Prosedur kerja dengan menggunakan metode deskriptif dalam mengkaji
masalah nomor satu dan dua peneliti mengikuti prosedur yang dikembangkan oleh
Djayanegara (2000) yaitu: tahap pertama pengidentifikasian tokoh-tokoh wanita
dalam sebuah karya sastra, dengan menganjukan pertanyaan-pertanyaan : Bagaimana
kedudukan tokoh itu dalam masyarakat ? Apa tujuan hidupnya ? Bagaimana
gambaran wataknya ? Bagaimana pendirian dan ucapan-ucapannya: tahap kedua,
identifikasi tokoh-tokoh lain (terutama tokoh pria) yang memiliki keterkaitan dengan
tokoh perempuan yang diamati; dan tahap ketiga, pengamatan sikap penulisnya,
terutama nada dan suasana yang dihadirkan (menyindir,menghina, dan sebagainya).
11
Nada dan suasana cerita mampu mengungkapkan maksud penulis dalam
menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau didukung oleh para
feminis. Untuk membantu mengungkap pandangan dan sikap penulis sebaiknya
memperhatikan latar belakangnya, misalnya soal waktu dan tempat penulisan,
biografinya, atau tentang kritik terhadap karya-karyanya (Mulyati, 2003).
Prosedur penggunaan metode action research dalam mengkaji masalah
nomor tiga dilakukan dengan melalui fase-fase seperti berikut.
Fase pertama, pembuatan rancangan pembelajaran, meliputi :
a. penentuan tujuan dan program (bahan rambu-rambu evaluasi) pembelajaran;
b. penentuan urutan (syntax) kegiatan pembelajaran seperti berikut.

Tahap I
Observasi Awal
Tahap II
Pembacaan Novel
Tahap III
Pengenalan Tokoh & Watak
Tahap IV
Pembahasan Bentuk Patriarkhi
Tahap V
Oservasi Akhir





Fase kedua, pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan rancangan yang telah dibuat.
Fase ketiga, penganalisisan dan perefleksian hasil pelaksanaan pembelajaran.
Fase keempat, perancangan bentuk siklus pembelajaran berikutnya berdasarkan hasil
perefleksian.
3.2 Teknik yang digunakan
Teknik penelitian dilakukan dengan perpaduan tiga cara, yaitu: observasi
wacana, wawancara tidak berstruktur, dan observasi berperan serta. Observasi wacana
dilakukan untuk mengenali data yang diperlukan mengenai novel yang dijadikan
kasus penganalisisan. Kemudian, data yang diperoleh dideskripsikan dan dibahas
secara analitis dengan pendekatan induktif dan deduktif berdasarkan norma-norma
12
kehidupan dan nilai gender sehingga permasalahan nomor satu dan dua dapat
terjawab.
Wawancara tidak berstruktur dan observasi berperan serta dilakukan dalam
menghimpun dan membahas data tentang: (1) sikap dan moralitas pembelajar
sebagai sampel penelitian tentang masalah gender dalam kehidupan, dan (2)
informasi-informasi yang terjadi saat proses pembelajaran dilaksanakan. Setiap
informasi yang diperoleh dibahas secara induktif melalui prosedur pendeskripsian,
penganalisisan, dan perefleksian sehingga diperoleh simpulan yang digunakan untuk
menjawab masalah penelitan ketiga.
3.3 Sumber Data Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitan, sumber data penelitian meliputi karya
sastra yang mengandung nilai-nilai feminisme, dan pembelajar yang diberi
pembelajaran sastra dengan menggunakan dasar acuan kajian sastra berdasarkan
prespektif feminisme. Sumber data yang berkaitan dengan karya sastra diambil
sampel secara purposif novel berjudul Women at Point Zero karya Nawal el-Sadawi,
dengan pertimbangan novel ini mengandung nilai-nilai patriarkhi yang sangat cocok
menjadi bahan kajian feminisme dalam bidang sastra. Sumber data yang berkaitan
dengan proses pembelajaran sastra dengan menerapkan perspektif kajian feminisme
diambil sampel mahasiswa berjenis kelamin laki-laki sebanyak 20 orang mahasiswa
semester pertama Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

13
4. Hasil Penelitian dan Bahasan
Sesuai dengan metode yang digunakan hasil penelitian yang dapat diperoleh
sebagai berikut.
4.1 Hal-hal yang Berhubungan dengan Masalah Pertama dan Kedua
4.1.1 Selintas Gambaran Cerita
Firdaus (tokoh aku) adalah seorang pelacur profesional di kota Kairo. Selama
hidup, ia menghadapi liku-liku kehidupan. Pada masa kecil, ia hidup pada lingkungan
keluarga petani miskin dengan dominasi patriakhi sang ayah yang egois. Ia
mengalami pelecehan seks sejak kecil oleh teman laki-laki sepermainannya dan
pamannya yang secara diam-diam dikaguminya. Sepeninggal orang tuanya, ia ikut
bersama pamannya yang masih membujang ke Kairo,dan ia disekolahkan di sana.
Ketika masa remaja setelah pamannya berkeluarga dan istrinya tidak menyukainya, ia
diasingkan ke asrama yang nyaris tanpa perhatian dan kasih sayang keluarga. Di situ
pertama kali ia jatuh cinta; cinta pertama kepada guru perempuannya. Ketidaklaziman
cinta ini berakhir dengan rasa kecewa yang mendalam. Selepas sekolah, ia kembali ke
rumah pamannya, namun harus menelan berbagai kepahitan. Dalam
ketakberdayaannya, pada usia sembilan belas tahun ia dipaksa menikah dengan
seorang duda tua berusia enam puluh tahunan yang dagunya borokan, bahil, egois,
dan ringan tangan. Keterpurukan hidupnya memaksa ia untuk menerima derita secara
berganti-ganti dari derita ke satu ke derita lainnya. Mula-mula jatuh kepada Bayoumi,
lelaki hidung belang yang telah menyekap dan menikmatinya tanpa bayaran dan juga
menjualnya kepada lelaki lain. Dalam pengembaraan berikutnya, ia jatuh kepada
tangan pelacur profesional, Shafira Salah el-Dine yang menyulapnya menjadi pelacur
kelas tinggi dengan harga tinggi. Namun, hal itu tidak lebih dari sekedar korban
14
eksploitasi. Sempat menjadi wanita terhormat dengan profesi sebagai karyawan kecil
pada sebuah perusahaan, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali menjadi
pelacur profesional setelah hatinya terluka dan dikhianati oleh cinta sejati yang
hendak diabdikannya untuk pemuda yang bernama Ibrahim, tokoh revolusioner
pembela keadilan untuk karyawan pada perusahaan tempatnya bekerja. Di tengah-tengah luka yang dideritanya, bertemu dengan seorang lelaki kelas atas yang telah
membayarnya 10 pon untuk seks yang dimintanya. Sejak itu, dia sadar bahwa
tubuhnya punya nilai jual, sehingga menjadi pelacur profesional termahal dan
tersukses di kota Kairo. Dengan profesi yang didasarkan atas pilihannya sendiri secara
merdeka, ia sempat dipenjara gara-gara menolak pesanan salah seorang kepala negara.
Dengan uang ia membeli kehormatan, menyewa pengacara termahal guna
mempertahankan kehormatannya dari jeratan penjara untuk suatu prinsip yang
diyakininya sebagai kebenaran. Setelah terbebas dari ancaman penjara, ia semakin
terkenal sebagai pelacur terhormat. Sampai akhirnya, seorang lelaki germo merampas
kebebasannya. Dengan kesadaran bahwa tubuhnya milik dirinya sendiri, Firdaus
memutuskan untuk mem bebaskan diri dari perbudakan oleh siapa pun, termasuk
lelaki germo yang merampas sebagian besar uang yang seharusnya ia terima. Melalui
perlawanan sengit dalam pertarungan fisik, sang germo terbunuh oleh pisaunya
sendiri yang semula hendak digunakannya untuk membunuh Firdaus. Sebuah
pengakuan sebagai pembunuh terlontar begitu saja di hadapan seorang Pangeran Arab
yang telah membeli tubuhnya seharga 3000 pon. Dengan bangga dan tegar dia
menjalani kehidupan penjara dan menyambut hukuman gantung yang akan
diterimanya sebagai sebuah jalan menuju pembebasan sejati (el-Sadawi, terj.
Sutaarga, 1989).
15
4.1.2 Model-model Budaya Patriarkhi yang ditonjolkan Pengarang
Dari rangkaian peristiwa yang digambarkan dalam novel “Women at Point
Zero” pengarang mengeksplisitkan ketimpangan-ketimpangan kehidupan sosial
berdasarkan gender yang masih membudaya pada latar cerita (yaitu di Negeri Mesir).
Dominasi kaum pria terhadap kaum wanita masih sangat tampak dalam
pelbagai kehidupan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam kehidupan sosial
lainnya. Dalam lingkungan keluarga digambarkan bagaimana kuatnya peranan
(otoriternya) suami dalam mengambil segala keputusan, sementara istri harus
berperan sebagai penurut dan pengikut segala yang diperintakan. Kejadian-kejadian
ini menonjol di lingkungan keluarga ayah-ibu tokoh utama, keluarga paman-bibi
tokoh utama, dan keluarga tokoh utama sendiri (Syekh Mahmoud-Firdaus). Dalam
kehidupan sosial dominasi pria sangat tampak, misalnya dalam bidang pendidikan
hanya kaum prialah yang berhak mendapat pendidikan tinggi (seperti digambarkan
oleh tokoh paman yang bersekolah di El Azhar, Kairo), sementara kaum wanita
banyak yang tidak bersekolah atau hanya berhak sampai sekolah rendahan.
Imperioritas kaum wanita sebagai dampak superioritas kaum pria sangat ditonjolkan
pengarang. Hal ini tergambar dalam seluk beluk perjalanan hidup tokoh utama, yaitu
seorang wanita yang senantiasa dirundung malang akibat perilaku dan kebejatan
moral kaum pria. Pada masa kecil tokoh utama menjadi bocah yang penuh beban
akibat sang ayah yang begitu otoriter, pada masa anak-anak ia mendapat pelecehan
seks dari teman prianya, pada masa memasuki remaja ia mendapat pelecehan seks
dari pamannya, kemudian memasuki masa dewasa dengan putus asa akibat perbuatan-perbuatan jahat kaum pria ia terjerumus dalam dunia pelacuran yang melayani nafsu
birahi kaum pria dari pelbagai kalangan mulai rakyat biasa sampai para pemimpin
16
negeri. Pada akhir hayatnya, dalam upaya mempertahankan haknya yang
merupakan gambaran puncak ketertindasannya sebagai bentuk ketakadilan aturan
hukum di negeri itu ia dipenjara dan menerima putusan hukuman gantung.
4.1.3 Bentuk Reaksi Penentangan Dominasi Patriarkhi
Di dalam menghadapi gejolak superioritas paham patriarkhi dalam kehidupan,
secara implisit pengarang menyampaikan rekasi-reaksi perlawanannya yang
tercerminkan oleh perilaku tokoh utama cerita. Sejak awal cerita tokoh utama
berupaya bertahan hidup tanpa keputusasaan dalam mengahadapi
kenistaan/penindasan kehidupan. Ia seorang wanita pertama yang berupaya untuk
mendapat hak-hak dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Tindakan ini merupakan
gambaran gerakan kaum wanita sebagai kaum empioritas dalam menentang paham
patriarkis bahwa wanita tidak perlu mendapat hak-hak kehidupan seperti itu. Dalam
mempertahankan harga diri, tokoh utama cerita berani mengorbankan dan
mepertaruhkan jiwa dan raga. Ketika penderitaan demi penderitaan dan kemalangan
demi kemalangan berakumulasi, wanita dapat membuktikan apa yang bisa dan biasa
dilakukan pria juga bisa dilakukan oleh kaum wanita. Hal ini dibuktikan saat kondisi
terdesak hendak dibunuh, ia melakukan perlawanan hingga lawan (lelaki germo)
dapat dibunuhnya. Saat terpaksa terjerumus pada lubang pelacuran ia berusaha
menjual diri dengan harga tawaran tinggi, dengan konsumen yang ditawarinya tidak
tanggung-tanggung yaitu seorang pangeran dari negeri Arab. Pada puncak kepedihan
yang muncul di ulu hatinya, ketika bergaul dengan Pangeran Arab, ia dengan berani
dan jujur menyatakan bahwa dirinya adalah pembunuh dan bisa membunuh siapa
saja termasuk pangeran dalam membela terwujudnya keadilan dan kebenaran di
17
muka bumi, meskipun pada akhir cerita sebagai titik nol dalam kehidupannya, ia
harus rela dan tegar menghadapi hukum gantung.
Reaksi tersebut menggambarkan bahwa wanita merasa dirinya sebagai ciptaan
Tuhan Yang Mahakuasa memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kaum pria.
Mereka menganggap bahwa perbedaan biologis yang menunjukkan kualitas fisik yang
dianggap lemah serta sifat pengalaman khusus yang dimiliki wanita (seperti
ovulasi, menstrurasi, dan melahirkan) jangan dijadikan dasar pijakan budaya
melemahkan kaum wanita. Pria/laki-laki harus menyadari bahwa wanita merupakan
pendamping hidup yang sangat dibutuhkan dan dihormati, karena Tuhan menciptakan
wanita bukan hanya sebagai pelengkap bagi kaum pria, melainkan sama-sama
dibebani tanggung jawab yang sangat proporsional.
4.2 Hal-hal yang Berhubungan dengan Masalah Ketiga
Berdasarkan hasil action research tentang proses pembelajaran sastra berbasis
kajian sastra feminisme yang dilaksanakan pada sampel penelitian dengan melalui
hasil wawancara mendalam dan observasi berpartisipasi selama proses pembelajaran
diperoleh gambaran perubahan (kemajuan) sikap, pandangan tentang hak-hak gender
sampel penelitian dari sebelum pembelajaran (observasi awal) sampai sesudah
pembelajaran (observasi akhir). Kemajuan sikap tersebut digambarkan pada Tabel 1.








18
Tabel 1
Gambaran Kemajuan Sikap Moral Kaum Pria terhadap Peran Kaum Wanita dalam
Kehidupan dari Sebelum dan Sesudah Pembelajaran Dilaksanakan

No Peranan dalam Bidang Observasi Awal Observasi Akhir
1 Lingkungan Keluarga Sebanyak 84% sampel
menyatakan bahwa wani-ta
(khususnya ibu rumah
tangga) harus mengikuti
kehendak pria (suami);
sisanya sebanyak 16%
menyatakan bahwa pria
dan wanita menduduki
peran yang sama.
Semua sampel menye-pakati pandangan bahwa
pria dan wanita memiliki
hak dan tanggung jawab
yang sama dalam keluar-ga namun harus propor-sional dengan kondisi yang
dimiliki.
2 Kehidupan Sosial Dalam kehidupan berma-syarakat disepakati oleh
semua sampel bahwa wa-nita mempunyai hak dan
kewajiban yang sama de-ngan pria, namun wanita
jangan overacting se-hingga merusak norma dan
budaya bangsa, karena hal
tersebut men-jadi sumber
terjadinya kebejatan moral
kaum pria.
Hak dan kewajiban yang
sama antara wanita de-ngan perlu dijunjung
tinggi. Budaya saling
menghormati terhadap
keberadaan hak kodrati
perlu dibudayakan, se-hingga keunggulan yang
dimiliki tidak menjadi alat
untuk membuat pi-hak lain
teraniaya.
3. pendidikan Sebanyak 68% sampel
menyatakan bahwa seba-iknya wanita jangan di-beri
kesempatan mengi-kuti
pendidikan jenjang paling
tinggi karena berakibat
wanita banyak menuntut
hak-hak yang tidak sesuai
dengan ha-kikat
kewanitaannya. Si-sanya
sebanyak 32% me-nyatakan wanita boleh
mengikuti pendidikan
sampai tingkat tertinggi
jika mampu.
Semua sampel menye-pakati bahwa wanita ber-
hak mengikuti berbagai
jenjang dan bentuk pen-didikan, namun perlu
dipertimbangkan bahwa
bidang pendidikan yang
diambil oleh mereka se-suai dengan hakikat ke-wanitaannya.
4 pekerjaan Semua sampel menye-pakati bahwa wanita se-baiknya mengambil pe-kerjaan yang mudah dan
tidak banyak meniuntut
tanggung jawab yang
berat.
Semua sampel menyepa-kati bahwa wanita berhak
memperoleh pekerjaan apa
pun asalkan mereka
mampu dan tidak me-langgar kodrat kewanita-annya.


19
Pandangan sampel terhadap peranan wanita dari empat aspek dalam
kehidupan dari sebelum sampai sesudah pembelajaran sastra berbasis kajian
perspektif feminis dilaksanakan menunjukkan perubahan sikap moral yang cukup
positif. Sebelum pembelajaran tentang gender diberikan mereka masih beranggapan
bahwa pria memiliki posisi dan kekuatan superior jika dibandingkan dengan wanita
yang imperior. Namun, setelah pembelajaran sastra berbasis kajian perspektif
feminisme dengan menggunakan kasus penyajian novel Women at Point Zero atau
“Wanita di Titik Nol” mereka menyadari bahwa pria dan wanita diciptakan oleh
Tuhan menduduki hak dan kewajiban yang sama dan masing-masing harus
menyadari kelemahan dan keunggulan yang dimiliki, sehingga antara keduanya dapat
saling menjunjung tinggi dan saling menghormati.
Perubahan sikap moral yang tergambarkan di atas merupakan suatu
konsekuensi logis dari proses pembelajaran yang dilaksanakan. Oleh karena itu,
proses pembelajaran sastra berbasis kajian sastra berdasarkan perspektif feminis
sangat efektif untuk membangun sikap moral positif pembelajar tentang masalah
gender di Indonesia. Tampak bahwa pembelajaran sastra dapat menjadi media yang
sangat efektif dalam membangun sikap moral positif pembelajar sebagai bekal hidup
berbangsa dan bernegara.

5. Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan temuan hasil penelitian, dapatlah diperoleh simpulan-simpulan
bahwa model-model dominasi patriarkhi yang digambarkan pengarang dalam novel
berjudul Women at Point Zero yaitu (a) masih membudayanya dominasi kaum laki-laki dalam pelbagai ruang kehidupan, seperti pada lingkungan keluarga, lapangan
20
kerja, dan perolehan pendidikan, dan (b) kesuperioritasan laki-laki (khususnya dari
segi kekuatan fisik) masih dijadikan andalan dalam melaksanakan pelecehan terhadap
perempuan sebagai kaum lemah (imperioritas). Reaksi yang dilakukan kaum wanita
(khususnya yang diwakili oleh pengarang) dalam menentang ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi yaitu berupaya dengan pantang menyerah walaupun
harus mengorbankan fisik dan mental dengan tujuan (a) dapat terwujudnya sistem
keadilan yang baik dengan tidak selalu bertolak pada kondisi gender, karena
masalah gender harus disikapi sebagai kodrat Ilahi, bukan kebudayaan, dan (b) dapat
memperoleh hak-hak hidup yang layak dalam pelbagai lapangan kehidupan (seperti
pada lingkungan kehidupan keluarga dan lingkungan kehidupan sosial lainnya).
Kemudian, berdasarkan hasil action research pada mahasiswa semester pertama
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya dikatahui bahwa Model pembelajaran
sastra berbasis kajian perspektif feminis sangat efektif dalam menumbuhkan sikap
moral pembelajar tentang masalah gender dalam kehidupan.
Simpulan di atas dapat direkomendasikan khususnya kepada para pengkaji
pemerhati, dan pengajar sastra untuk dilakukan analisis lebih lanjut terutama dalam
rangka melengkapi ketersediaan bahan pembelajaran sastra. Dalam dunia
pembelajaran sastra para pengajar sastra dituntut untuk memperkaya khasanah
pemahaman teori kajian sastra. Sebagaimana telah dikemukakan, kajian sastra
berdasarkan perspektif feminisme masih dianggap model baru dan belum menjadi
metode kajian sastra yang mandiri. Oleh karena itu, untuk mendukung terwujudnya
metode kajian baru dalam sastra, model ini perlu diangkat menjadi bahan
pembelajaran sastra oleh para pengajar sastra.
21
Untuk kepentingan pengembangan praktek pembelajaran sastra sebagai sarana
pembangun moral, direkomendasikan kepada guru (dosen) sastra Indonesia untuk
mengembangkan lebih lanjut model pembelajaran sastra berbasis kajian perspektif
feminisme melalui pengaplikasian pada peserta didik. Jika model ini banyak
diaplikasikan diharapkan menjadi model yang mantap dan menjadi khazanah
kekayaan model pembelajaran sastra Indonesia.


















22
Daftar Pustaka

Artika, I Wayan. 2002. “Ruang-ruang Migrasi dalam Sastra (Ideologi Patriarkhi
dalam Empat Novel A.A. Panji Tisna)” tersedia pada www.sekitarkita.com
2002.

De Beauvoir, Simone (1949) The Second Sex. New York : Bantam Books.

Depdikbud .1994. Garis-garis Besar Program Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depdikbud.

Depdikbud. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Puistaka.

Djayanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis Sebuah Pengantar. Jakarta :
Gramedia.

El-Sadawi, Nawal (terj. Amir Sutaarga). 1989. Perempuan di Titik Nol. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.

Heryadi, Dedi. 2003. Kajian Sastra Berdasarkan Pandangan Strukturalisme.
Tasikmalaya : FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Millet, Kate. 1977. Sexual Polittics. London : Virago.

Humm, Maggie (terj. Mundi Rahayu). 2000. Ekslopedia Feminisme. Surakarta : Fajar
Pustaka Baru.

Mulyati, Yeti. 2003. “Kritik Sastra Feminis” Teori Sastra. Bandung : Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia PPS Universitas Pendidikan Indonesia.

Selden, Raman and Wodowson. 1996. Contemporary Literary Theory. Lexington :
The University Press of Kentucky.

Suharto, Sugihastuti. 2002. Kritik Sastra Feminis. Jogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.







23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar